Korupsi, sepertinya akan menjadi sebuah kata yang tidak
akan pernah lekang dimakan zaman untuk negeri zamrud khatulistiwa ini,
dan seolah tidak ada matinya. Kasus korupsi di negeri ini nampaknya
sudah mendarah daging bukan hanya di jajaran kelas teri, tapi juga di
kalangan kelas kakap, pejabat pemerintah yang katanya memperjuangkan
nasib rakyat.
Sungguh hebat memang, bukannya menurun, kenyataan
yang ada justru memperlihatkan angka korupsi semakin meningkat dari
tahun ke tahun.
Belum selesai masalah korupsi, kali ini pihak yang
harusnya memberantas korupsi justru terjebak pada kasus korupsi
pengadaan simulator mengemudi Polri.
Seolah bukan sebuah masalah
yang pelik, sikap pemerintah terkesan lamban dalam menangani kasus
korupsi yang terus terjadi, termasuk dalam kasus pengadaan simulator
mengemudi ini. Perseteruan KPK dan Polri berakhir setelah Presiden SBY
akhirnya membuat keputusan tegas dengan menyerahkan sepenuhnya
penanganan kasus hukum tersebut kepada KPK.
Drama "pertarungan"
KPK vs Polri ini cukup menyita perhatian masyarakat yang lebih membela
KPK sebagai "cicak" yang tertindas oleh "buaya". Padahal yang perlu
sangat dicermati adalah penanganan pemerintah terhadap korupsi yang
telah berurat akar ini. Mencoba melihat pangkal dan permasalahan korupsi
adalah hal terbaik untuk menuntaskan kasus yang banyak menjerat para
kerah putih itu.
Tidak hanya faktor individu yang menjadi
penyebab menjamurnya kasus korupsi di negeri ini, tetapi banyak faktor
lain yang menumbuhsuburkan kejahatan perampokan uang rakyat tersebut. Di
antaranya adalah tidak adanya hukum yang memberikan efek jera bagi para
pelaku kejahatan korupsi ini. Hal ini terlihat salah satunya terlihat
dari lamanya hukuman bagi para koruptor yang hanya sekira dua tahun.
Bahkan jika diberi remisi, hukuman mereka hanya tinggal sembilan bulan.
Usulan
berulang-ulang disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD
yang mendorong agar hukuman mati bagi koruptor benar-benar dilaksanakan
ternyata ditanggapi santai oleh pemerintah. Hal ini terlihat juga dari
sikap abai pemerintah atas desakan yang sering dikeluarkan ketua MK
dalam berbagai kesempatan agar Undang-Undang (UU) Pembuktian Terbalik
segera disahkan. Padahal UU tersebut sudah diajukan sejak era Presiden
Gus Dur, tapi nampaknya DPR seperti enggan membahasnya.
Sebenarnya
mahalnya biaya pesta demokrasilah yang membuat kejahatan yang dilakukan
oleh kerah putih ini semakin menggila. Pasalnya, proses politik
demokrasi, khususnya proses Pemilu dan Pilkada, memang tidak membutuhkan
dana yang sedikit. Bisa kita bayangkan besarnya rupiah yang harus
dikeluarkan untuk maju menjadi caleg dibutuhkan, bukan hanya puluhan dan
ratusan juta bahkan miliaran rupiah. Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan
bahwa biaya minimal yang dikeluarkan seorang calon sekira Rp20 miliar,
akan tetapi untuk daerah yang kaya, biayanya bisa sampai Rp100-150
miliar. Jika ditambah dengan ongkos untuk berperkara di MK, tentunya
biaya yang dikeluarkan akan semakin tinggi. Sedangkan gaji yang diterima
setelah mendapatkan kekuasaan tak seberapa. Maka tidak salah jika
mereka menjadikan korupsi sebagai satu-satunya cara cepat yang bisa
dilakukan oleh para penguasa dan wakil rakyat untuk mengembalikan biaya
politik yang mereka keluarkan saat pemilu.
Tidak salah jika ada
yang mengatakan bahwa untuk dua tahun pertama pejabat sibuk memutar otak
bagaimana mengembalikan modal kampanye saat pemilu lalu dan tiga tahun
berikutnya berpikir keras bagaimana caranya agar di pemilihan umum
periode berikutnya masih bisa bersaing untuk memperebutkan kursi panas
anggota dewan.
Sistem demokrasilah yang salah, bukan KPK ataupun
Polri. Sistem demokrasilah yang melahirkan para pemimpin bermental
korup, zalim, dan rakus. Demokrasi jugalah yang telah membiasakan para
penguasanya untuk gemar berbuat curang, menerima suap, korupsi, dan
melakukan kolusi yang merugikan rakyat. Sistem pemerintahan ini
sesungguhnya penyebab kerusakan penguasa dan pemerintahan yang sekarang
ada bukanlah lagi sekadar disebabkan bejatnya moral para pemimpin, tapi
karena kebusukan sistemnya.
Tidakkah seharusnya kita sekarang
mulai cerdas melihat demokrasi yang katanya sistem pemerintahan terbaik
ternyata justru menjadi penyebab menjamurnya korupsi di negari ini serta
mencari sebuah sistem tata kenegaraan baru yang mampu memberantas
korupsi secara tuntas? Mencari sebuah sistem yang mampu melahirkan
pejabat yang amanah, yang benar-benar mengurusi kepentingan rakyat bukan
hanya kepentingan dirinya sendiri. Sistem yang akan membuat setiap
individu di dalamnya takut untuk melakukan kejahatan dan sistem yang
mampu membuat masyarakat cerdas dan mampu menjadi kontrol pemerintah
saat menjalankan tugasnya sebagai pengurus rakyat. Tentu bukan kembali
kepada sosialis yang sudah runtuh tapi kepada sistem Islam yang
mempunyai aturan yang paripurna karena berasal dari Yang Maha Sempurna,
Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar