Jumat, 19 Oktober 2012

KPK-Polri, Siapa yang Salah?

Korupsi, sepertinya akan menjadi sebuah kata yang tidak akan pernah lekang dimakan zaman untuk negeri zamrud khatulistiwa ini, dan seolah tidak ada matinya. Kasus korupsi di negeri ini nampaknya sudah mendarah daging bukan hanya di jajaran kelas teri, tapi juga di kalangan kelas kakap, pejabat pemerintah yang katanya memperjuangkan nasib rakyat.

Sungguh hebat memang, bukannya menurun, kenyataan yang ada justru memperlihatkan angka korupsi semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Belum selesai masalah korupsi, kali ini pihak yang harusnya memberantas korupsi justru terjebak pada kasus korupsi pengadaan simulator mengemudi Polri.

Seolah bukan sebuah masalah yang pelik, sikap pemerintah terkesan lamban dalam menangani kasus korupsi yang terus terjadi, termasuk dalam kasus pengadaan simulator mengemudi ini. Perseteruan KPK dan Polri berakhir setelah Presiden SBY akhirnya membuat keputusan tegas dengan menyerahkan sepenuhnya penanganan kasus hukum tersebut kepada KPK.

Drama "pertarungan" KPK vs Polri ini cukup menyita perhatian masyarakat yang lebih membela KPK sebagai "cicak" yang tertindas oleh "buaya". Padahal yang perlu sangat dicermati adalah penanganan pemerintah terhadap korupsi yang telah berurat akar ini. Mencoba melihat pangkal dan permasalahan korupsi adalah hal terbaik untuk menuntaskan kasus yang banyak menjerat para kerah putih itu.

Tidak hanya faktor individu yang menjadi penyebab menjamurnya kasus korupsi di negeri ini, tetapi banyak faktor lain yang menumbuhsuburkan kejahatan perampokan uang rakyat tersebut. Di antaranya adalah tidak adanya hukum yang memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan korupsi ini. Hal ini terlihat salah satunya terlihat dari lamanya hukuman bagi para koruptor yang hanya sekira dua tahun. Bahkan jika diberi remisi, hukuman mereka hanya tinggal sembilan bulan.

Usulan berulang-ulang disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD yang mendorong agar hukuman mati bagi koruptor benar-benar dilaksanakan ternyata ditanggapi santai oleh pemerintah.  Hal ini terlihat juga dari sikap abai pemerintah atas desakan yang sering dikeluarkan ketua MK dalam berbagai kesempatan agar Undang-Undang (UU) Pembuktian Terbalik segera disahkan. Padahal UU tersebut sudah diajukan sejak era Presiden Gus Dur, tapi nampaknya DPR seperti enggan membahasnya.

Sebenarnya mahalnya biaya pesta demokrasilah yang membuat kejahatan yang dilakukan oleh kerah putih ini semakin menggila. Pasalnya, proses politik demokrasi, khususnya proses Pemilu dan Pilkada, memang tidak membutuhkan dana yang sedikit. Bisa kita bayangkan besarnya rupiah yang harus dikeluarkan untuk maju menjadi caleg dibutuhkan, bukan hanya puluhan dan ratusan juta bahkan miliaran rupiah. Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan bahwa biaya minimal yang dikeluarkan seorang calon sekira Rp20 miliar, akan tetapi untuk daerah yang kaya, biayanya bisa sampai Rp100-150 miliar. Jika ditambah dengan ongkos untuk berperkara di MK, tentunya biaya yang dikeluarkan akan semakin tinggi. Sedangkan gaji yang diterima setelah mendapatkan kekuasaan tak seberapa. Maka tidak salah jika mereka menjadikan korupsi sebagai satu-satunya cara cepat yang bisa dilakukan oleh para penguasa dan wakil rakyat untuk mengembalikan biaya politik yang mereka keluarkan saat pemilu.

Tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa untuk dua tahun pertama pejabat sibuk memutar otak bagaimana mengembalikan modal kampanye saat pemilu lalu dan tiga tahun berikutnya berpikir keras bagaimana caranya agar di pemilihan umum periode berikutnya masih bisa bersaing untuk memperebutkan kursi panas anggota dewan.

Sistem demokrasilah yang salah, bukan KPK ataupun Polri. Sistem demokrasilah yang melahirkan para pemimpin bermental korup, zalim, dan rakus. Demokrasi jugalah yang telah membiasakan para penguasanya untuk gemar berbuat curang, menerima suap, korupsi, dan melakukan kolusi yang merugikan rakyat. Sistem pemerintahan ini sesungguhnya penyebab kerusakan penguasa dan pemerintahan yang sekarang ada bukanlah lagi sekadar disebabkan bejatnya moral para pemimpin, tapi karena kebusukan sistemnya.

Tidakkah seharusnya kita sekarang mulai cerdas melihat demokrasi yang katanya sistem pemerintahan terbaik ternyata justru menjadi penyebab menjamurnya korupsi di negari ini serta mencari sebuah sistem tata kenegaraan baru yang mampu memberantas korupsi secara tuntas? Mencari sebuah sistem yang mampu melahirkan pejabat yang amanah, yang benar-benar mengurusi kepentingan rakyat bukan hanya kepentingan dirinya sendiri. Sistem yang akan membuat setiap individu di dalamnya takut untuk melakukan kejahatan dan sistem yang mampu membuat masyarakat cerdas dan mampu menjadi kontrol pemerintah  saat menjalankan tugasnya sebagai pengurus rakyat. Tentu bukan kembali kepada sosialis yang sudah runtuh tapi kepada sistem Islam yang mempunyai aturan yang paripurna karena berasal dari Yang Maha Sempurna, Allah SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar