Senin, 10 Desember 2012

Blok Mahakam Hanya Untuk Pemilik Uang

  • Ditengah rasa bosan masyarakat dengan hiruk pikuk tayangan kehidupan perpolitikan Indonesia, kisruh soal pengelolaan migas di negeri ini kembali mencuat. Sayangnya masalah penentuan pengelolaan lapangan gas terbesar di negeri ini, lapangan migas Blok Mahakam Kalimantan Timur, luput dari perhatian masyarakat. Blok Mahakam dikuasai Total E&P Indonesie (Perancis) dan Inpex Corporation Jepang sejak 31 Maret 1967 dan berlaku selama 30 tahun hingga 31 Maret 1997 dan diperpanjang selama 20 tahun, sehingga kontrak akan berakhir pada 31 Maret 2017.

    Blok Mahakam diperkirakan masih memiliki sebanyak 11,7 % cadangan terbukti gas nasional atau 12,7 TCF -triliun kaki kubik-. Cadangan yang tersisa itu nilainya tentu sangat besar. Jika diasumsikan harga gas rata-rata US$ 15/MMBtu, maka pendapatan kotor yang bisa didapat dari cadangan ini bisa lebih dari US$ 187 milyar atau lebih dari Rp 1.700 triliun. Sementara dari hasil minyaknya, dengan produksi minyak Blok Mahakam saat ini sebesar 67.478 barel per hari, jika diasumsikan harga jual minyak mentahnya US$ 100 per barel, maka bisa didapat hasil kotor US$ 6,748 juta per hari atau lebih dari Rp 60,730 miliar per hari (Rp 22,167 triliun per tahun).

    Dengan keuntungan yang begitu besar maka sangat wajar jika dua perusahaan asing itu ingin tetap menguasai Blok Mahakam dengan memperpanjang kontrak Blok Mahakam kepada pemerintah selama 25 tahun hingga 2042 tepat lima tahun sebelum kontrak berakhir. Berbagai lobi tingkat tinggi pun dilakukan. Perdana Menteri Prancis Francois Fillon sengaja datang ke Indonesia pada Juli 2011 untuk meminta perpanjangan kontrak Mahakam. Menteri Perdagangan Luar Negeri Prancis Nicole Bricq melobi Menteri ESDM Jero Wacik saat berada di Paris, 23 Juli 2012, untuk hal yang sama. Lobi juga dilakukan oleh CEO Inpex Toshiaki Kitamura saat bertemu Wapres Boediono dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 14 September 2012.

    Walaupun hingga saat ini keputusan pemerintah masih mengambang, setidaknya gayung belum bersambut karena pemerintah Indonesia belum menyetujui lobi yang dilakukan oleh pembesar kedua negara perusahaan asing tersebut itu pun setelah masyarakat memberikan penolakan dengan membuat “Petisi Blok Mahakam untuk Rakyat” yang digalang oleh IRESS (Indonesian Resourses Studies). Namun sayangnya, sepertinya pemerintah negeri ini dibentuk hanya untuk melanggengkan kekuasaan para kapitalis, pernyataan Menteri ESDM, Wamen ESDM dan Kepala BP Migas justru cenderung untuk kembali memperpanjang kontrak kepada asing. Bahkan dengan congkaknya Wamen ESDM menyatakan Pertamina tidak akan mumpuni mengelola Blok Mahakam.

    Inilah yang terjadi ketika sebuah negeri menerapkan sistem pemerintahan yang menjamin kebebasan kepemilikan. Sumbar daya alam bebas dimiliki siapa saja yang memiliki uang sekalipun itu menjadi penopang hajat hidup orang banyak. Konstitusi hanyalah tinggal konstitusi, pasal 33 ayat ?? hanyalah tinggal sebuah tulisan tanpa makna, tidak lagi dijadikan aturan hukum tinggi yang harus ditaati dan dijalankan. Hal ini membuktikanrapuhnya hukum buatan manusia, bisa dilanggar siapa saja asal dia berkuasa (baca: berduit).

    Walaupun dijajaran pemerintah Indonesia mayoritas muslim, tapi sayangnya tidak pernah ada yang berusaha mengusulkan Islam sebagai solusi dari permasalahan migas ini. Padahal Islam memiliki pengaturan dalam berbagai aspek kehidupan termasuk masalah pengelolaan sumber daya ala. Menurut syariah Islam, tambang yang deposit atau cadangannya sangat besar adalah milik publik yang tidak boleh diserahkan kepada swasta apalagi asing. Atas dasar itu, kekayaan alam tidak boleh diserahkan kepada swasta apalagi asing. Tapi sayangnya, sekalipun ada yang mengusulkan Islam sebagai solusi tapi hal itu tidak akan terwujud karena sama saja menghancurkan mereka (kapitalis) yang berkuasa saat ini. Islam sebagai solisi hanya bisa diterapkan dengan penerapan syariah Islam secara total dalam bingkai Khilafah Rasyidah, bukan dengan sistem yang hanya mementingkan para pemilik modal saja. Demokrasi. 

Status Baru Palestina : Jebakan Barat untuk Dunia Islam

Palestina kembali meradang. Setelah mengakhiri pembantaiannya pada 2008 lalu, tepat tanggal 1 Muharram 1434 H, dimana umat di belahan dunia lain sedang bergembira menyambut tahun baru Islam, Israel kembali melakukan penyerangan dan pembantaian terhadap Palestina. Diawali dengan pembunuhan pembesar Hamas, Israel seolah berkata “tidak ada senyum untuk Palestina, cukup hanya air mata saja”


Setelah hampir menginjak penyerangan hari ke 20, rakyat Palestina seolah mendapat angin segar dari dunia karena mulai saat ini Palestina mendapat pengakuan resmi dari PBB setelah 138 negara menyetujui peningkatan status Palestina dari "entitas" menjadi "negara pengamat non-anggota" seperti halnya Vatikan. Dengan ini Palestina bisa mendapatkan pembelaan jika suatu saat nanti kembali mendapatkan penyerangan dari Israel. Harapan lainnya adalah hal tersebut dapat meredakan dan mengakhiri konflik antara Israel dan Palestina yang terjadi sejak puluhan tahun silam.

Tidak ada makan siang yang gratis. Mungkin kalimat pendek ini harus diingat oleh negeri muslim manapun ketika Barat memberikan sebuah ‘kebaikan’. Hal ini pula yang terjadi ketika voting untuk dukungan Palestina dilakukan. Inggris memiliki syarat ketika Palestina meminta Inggris untuk memberikan dukungan bagi Palestina di PBB. Inggris meminta Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas berjanji tidak akan mengejar Israel atas kejahatan perang dan akan melanjutkan pembicaraan perdamaian dengan Israel.

Perjanjian damai antara Palestina dan Israel tidaklah menguntungkan kedua belah pihak. Palestina hanya sapi perah Israel yang ketika datang dengan baik-baik kepada Palestna tidak lain hanyalah untuk mengambil tanah suci al Quds bukan yang lain. Sejak berdirinya negara Israel hingga saat ini, wilayah Palestina terus menerus berkurang hingga luasny tidak lebih besar dari Pulau Jawa.

Pengakuan dari PBB atas Palestina itu bukanlah solusi bagi Palestina, karena hal tersebut sama saja artinya juga mengakui eksistensi negara Israel atas tanah suci kaum Muslim. Dan PBB bukanlah pelindung Palestina karena sesungguhnya mereka yang ada dibalik PBB adalah negara-negara yang menolak Palestina, Amerika-Israel dan sekutu-sekutunya yang justru menjadi dalang dibalik pembantaian muslim di Palestina.

Inilah cara Barat memalingkan kaum muslim dari meraih kemenanngan yang sebenarnya. Ini pula lah cara Barat untuk semakin menekan riak-riak penegakan syariat Islam yang kini sedang menggaung di berbagai belahan negeri kaum muslim. Barat dan sekutunya takut jika mereka harus kembali berhadapan dengan sosok seperti  Sultan Abdul Hamid II, pemimpin Kekhilafahan Utsmani yang dengan tegas menyatakan "Aku tidak akan melepaskan walaupun segenggam tanah ini (Palestina), Karena ia bukan miliku. Tanah itu adalah hak umat. Umat ini telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka..Yahudi silahkahkan menyimpan harta mereka. Jika Khilafah Islam dimusnahkan pada suatu hari, maka mereka boleh mengambil tanpa membayar harganya. Akan tetapi, sementara Aku hidup, Aku lebih rela menusukan ke tubuhku daripada melihat tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islam. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selama kami masih hidup!"

Seperti itulah yang seharusnya dilakukan dan diteriakkan oleh pemimpin negeri kaum muslim dalam membebaskan Palestina, bukan berdamai dengan makhluk yang Allah pun melaknatnya. Sayangnya sosok seperti Sultan Abdul Hamid II memang tidak akan pernah kita temukan di zaman yang semuanya menjadikan Barat sebagai kiblat. Pemimpin negeri-negeri muslim saat ini tidak lebih hanya sebagai boneka yang digunakan Barat untuk memuluskan rencana-rencana busuknya. Sosok Sultan Abdul Hamid II hanya akan kita dapatkan ketika kaum muslimin kembali memiliki sebuah institusi kokoh yang akan menjaga setiap jengkal tanah kaum muslim dari rongrongan kafir Barat.

dimuat di  http://www.al-khilafah.org/2012/12/status-baru-palestina-jebakan-barat.html