Fenomena konflik sosial politik di
Indonesia kembali terjadi dan hingga kini pemerintah belum juga mampu
menyelesaikan dan mengusut tuntas kasus tersebut.Kasus Mesuji dan Bima yang
mencuat di akhir tahun lalu hanyalah dua dari sekian banyak kasus konflik
agraria yang terjadi. Sepanjang tahun 2011, Konsorsium Pembaharuan Agraria
mencatat terdapat 163 konflik agraria di seluruh Indonesia. UU liberal yang
membenarkan penguasaan sumber daya kepada pengusaha swasta bahkan asing ini
merupakan sumber dari konflik-konflik agraria yang selama ini terjadi.
Jika kita perhatikan, akar permasalahan
dari konflik sengketa lahan tersebut adalah diberlakukannya undang-undang -UU
Perkebunan, UU Minerba, UU Penanaman Modal dsb- yang memberikan jalan bagi
pihak-pihak swasta untuk menguasai tanah warga dengan leluasa. Inilah salah
satu potret kehidupan yang dihasilkan dari sebuah sistem yang melahirkan
corporation state berupa hubungan simbiosis mutualisme antara penguasa dan
pengusaha, kapitalisme.
Salah satu
contohnya adalah pasal 12 UU Pengadaan Lahan yang mengatakan bahwa pembangunan
kepentingan umum “wajib diselenggarakan Pemerintah dan dapat bekerja sama
dengan Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau Badan Usaha
Swasta”. Terlihat jelas bahwa dalam pasal tersebut pemerintah berusaha
berpihak kepada swata dan jelas dengan adanya aturan tersebut akan
menguntungkan mereka.
Berbeda halnya dalam Islam, dalam
pandangan bahwa sumber daya alam (SDA) yang besar termasuk hutan dan tambang
yang depositnya besar adalah milik rakyat (milkiyah ‘ammah) yang haram
diberikan kepada swasta. SDA itu harus dikelola negara mewakili rakyat dan
seluruh hasilnya dikembalikan untuk kepentingan rakyat. Syariah Islam juga
menetapkan tanah-tanah terlantar dikuasai negara. Negara kemudian membagikannya
kepada rakyat yang mampu menggarapnya, dan bukan menguasakannya kepada pemodal
besar seperti dalam sistem kapitalisme sekarang ini.
Sudah banyak UU yang dikeluarkan pemerintah
tetapi tidak pernah bisa menyelesaikan dengan tuntas masalah-masalah yang
terjadi. Inilah ciri khas kapitalisme, tambal sulam. Menyelesaikan masalah
dengan solusi yang justru akan menimbulkan masalah baru. Islam
hadir sebagai aturan yang berasal dari Pencipta manusia memiliki cara untuk
menangani konflik-konflik tersebut. Syariah Islam akan menetapkan sumber daya
yang depositnya besar dan tanah terlantar akan dikelola negara kemudian
hasilnya akan digunakan untuk kepentingan rakyat.
Manusia dengan segala
keterbatasannya harus mengakui bahwa aturan yang dibuatnya pun penuh keterbatasan
dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, sudah selayaknya kita menggunakan
aturan yang menciptakan manusia dengan segala kesempurnaan-Nya untuk
menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan, yaitu dengan aturan Islam. Bukan saatnya lagi kita mempertahankan aturan-aturan tambal sulam
kapitalis ini karena yang dilakukan bukanlah mennyelesaikan masalah, yang ada
adalah bagaimana para kapital itu tetap tegak berdiri dengan meminta pemerintah
untuk tetap mempertahankan negara -yang sebenarnya sudah bobrok- sebagai
pelindung dari berbagai kepentingan
dirinya.
Penerapan
syariat Islam sebagai solusi tanpa didukung adanya sebuah negara ibarat
seseorang haus yang menuang air dalam bejana tidak ke dalam gelas,
membiarkannya tumpah kemana-mana.Jadi, syariat Islam butuh sebuah institusi
yang mampu menerapkannya secara sempurna sehingga syariat Islam mampu memperlihatkan
dirinya sebagai problem solver dari setiap permasalahan kehidupan.
Institusi tersebut tidak lain adalah sistem pemerintahan Islam yang khas yang
dengannya syariah Islam mampu diterapkan.
Bukan federal, monarki ataupun republik.tetapi tata aturan yang
dicontohkan oleh Rasulullah SAW, Khilafah Islamiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar