Selasa, 10 Januari 2012

Sengketa Mesuji-Bima


       Fenomena konflik sosial politik di Indonesia kembali terjadi dan hingga kini pemerintah belum juga mampu menyelesaikan dan mengusut tuntas kasus tersebut.Kasus Mesuji dan Bima yang mencuat di akhir tahun lalu hanyalah dua dari sekian banyak kasus konflik agraria yang terjadi. Sepanjang tahun 2011, Konsorsium Pembaharuan Agraria mencatat terdapat 163 konflik agraria di seluruh Indonesia. UU liberal yang membenarkan penguasaan sumber daya kepada pengusaha swasta bahkan asing ini merupakan sumber dari konflik-konflik agraria yang selama ini terjadi.
      Jika kita perhatikan, akar permasalahan dari konflik sengketa lahan tersebut adalah diberlakukannya undang-undang -UU Perkebunan, UU Minerba, UU Penanaman Modal dsb- yang memberikan jalan bagi pihak-pihak swasta untuk menguasai tanah warga dengan leluasa. Inilah salah satu potret kehidupan yang dihasilkan dari sebuah sistem yang melahirkan corporation state berupa hubungan simbiosis mutualisme antara penguasa dan pengusaha, kapitalisme.
      Salah satu contohnya adalah pasal 12 UU Pengadaan Lahan yang mengatakan bahwa pembangunan kepentingan umum “wajib diselenggarakan Pemerintah dan dapat bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau Badan Usaha Swasta”. Terlihat jelas bahwa dalam pasal tersebut pemerintah berusaha berpihak kepada swata dan jelas dengan adanya aturan tersebut akan menguntungkan mereka.
      Berbeda halnya dalam Islam, dalam pandangan bahwa sumber daya alam (SDA) yang besar termasuk hutan dan tambang yang depositnya besar adalah milik rakyat (milkiyah ‘ammah) yang haram diberikan kepada swasta. SDA itu harus dikelola negara mewakili rakyat dan seluruh hasilnya dikembalikan untuk kepentingan rakyat. Syariah Islam juga menetapkan tanah-tanah terlantar dikuasai negara. Negara kemudian membagikannya kepada rakyat yang mampu menggarapnya, dan bukan menguasakannya kepada pemodal besar seperti dalam sistem kapitalisme sekarang ini.
      Sudah banyak UU yang dikeluarkan pemerintah tetapi tidak pernah bisa menyelesaikan dengan tuntas masalah-masalah yang terjadi. Inilah ciri khas kapitalisme, tambal sulam. Menyelesaikan masalah dengan solusi yang justru akan menimbulkan masalah baru. Islam hadir sebagai aturan yang berasal dari Pencipta manusia memiliki cara untuk menangani konflik-konflik tersebut. Syariah Islam akan menetapkan sumber daya yang depositnya besar dan tanah terlantar akan dikelola negara kemudian hasilnya akan digunakan untuk kepentingan rakyat.
      Manusia dengan segala keterbatasannya harus mengakui bahwa aturan yang dibuatnya pun penuh keterbatasan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, sudah selayaknya kita menggunakan aturan yang menciptakan manusia dengan segala kesempurnaan-Nya untuk menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan, yaitu dengan aturan Islam. Bukan saatnya lagi kita mempertahankan aturan-aturan tambal sulam kapitalis ini karena yang dilakukan bukanlah mennyelesaikan masalah, yang ada adalah bagaimana para kapital itu tetap tegak berdiri dengan meminta pemerintah untuk tetap mempertahankan negara -yang sebenarnya sudah bobrok- sebagai pelindung dari berbagai  kepentingan dirinya.
      Penerapan syariat Islam sebagai solusi tanpa didukung adanya sebuah negara ibarat seseorang haus yang menuang air dalam bejana tidak ke dalam gelas, membiarkannya tumpah kemana-mana.Jadi, syariat Islam butuh sebuah institusi yang mampu menerapkannya secara sempurna sehingga syariat Islam mampu memperlihatkan dirinya sebagai problem solver dari setiap permasalahan kehidupan. Institusi tersebut tidak lain adalah sistem pemerintahan Islam yang khas yang dengannya syariah Islam mampu diterapkan.  Bukan federal, monarki ataupun republik.tetapi tata aturan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, Khilafah Islamiyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar