Selasa, 10 Januari 2012

Inilah Hipotesis Mahasiswa Misterius


Seorang Profesor dari sebuah universitas terkenal menantang mahasiswa-mahasiswa nya dengan pertanyaan ini, "Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?".

Seorang mahasiswa dengan berani menjawab, "Betul, Dia yang menciptakan semuanya".

"Tuhan menciptakan semuanya?" Tanya professor sekali lagi. "Ya, Pak, semuanya" kata mahasiswa tersebut.

Profesor itu menjawab, "Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan".

"Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab hipotesis professor tersebut. Profesor itu merasa menang dan menyombongkan diri bahwa sekali lagi dia telah membuktikan kalau Agama itu adalah sebuah mitos.

Mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata, "Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?".

"Tentu saja," jawab si Profesor,

Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, "Profesor, apakah dingin itu ada?"

"Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada.

Kamu tidak pernah sakit flu?" Tanya si professor diiringi tawa mahasiswa lainnya.

Mahasiswa itu menjawab, "Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada.
Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas."

Mahasiswa itu melanjutkan, "Profesor, apakah gelap itu ada?" Profesor itu menjawab, "Tentu saja itu ada."

Mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi anda salah, Pak.

Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak.

Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya."

Akhirnya mahasiswa itu bertanya, "Profesor, apakah kejahatan itu ada?"

Dengan bimbang professor itu menjawab, "Tentu saja, seperti yang telah kukatakan sebelumnya.

Kita melihat setiap hari di Koran dan TV. Banyak perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara-perkara tersebut adalah manifestasi dari kejahatan."

Terhadap pernyataan ini mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi Anda salah, Pak.

Kejahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan. Seperti dingin atau gelap, kajahatan adalah kata yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan.

Tuhan tidak menciptakan kajahatan. Kajahatan adalah hasil dari tidak adanya kasih Tuhan dihati manusia. Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya."

Profesor itu terdiam.


Nama mahasiswa itu adalah Albert Einstein .

Sengketa Mesuji-Bima


       Fenomena konflik sosial politik di Indonesia kembali terjadi dan hingga kini pemerintah belum juga mampu menyelesaikan dan mengusut tuntas kasus tersebut.Kasus Mesuji dan Bima yang mencuat di akhir tahun lalu hanyalah dua dari sekian banyak kasus konflik agraria yang terjadi. Sepanjang tahun 2011, Konsorsium Pembaharuan Agraria mencatat terdapat 163 konflik agraria di seluruh Indonesia. UU liberal yang membenarkan penguasaan sumber daya kepada pengusaha swasta bahkan asing ini merupakan sumber dari konflik-konflik agraria yang selama ini terjadi.
      Jika kita perhatikan, akar permasalahan dari konflik sengketa lahan tersebut adalah diberlakukannya undang-undang -UU Perkebunan, UU Minerba, UU Penanaman Modal dsb- yang memberikan jalan bagi pihak-pihak swasta untuk menguasai tanah warga dengan leluasa. Inilah salah satu potret kehidupan yang dihasilkan dari sebuah sistem yang melahirkan corporation state berupa hubungan simbiosis mutualisme antara penguasa dan pengusaha, kapitalisme.
      Salah satu contohnya adalah pasal 12 UU Pengadaan Lahan yang mengatakan bahwa pembangunan kepentingan umum “wajib diselenggarakan Pemerintah dan dapat bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau Badan Usaha Swasta”. Terlihat jelas bahwa dalam pasal tersebut pemerintah berusaha berpihak kepada swata dan jelas dengan adanya aturan tersebut akan menguntungkan mereka.
      Berbeda halnya dalam Islam, dalam pandangan bahwa sumber daya alam (SDA) yang besar termasuk hutan dan tambang yang depositnya besar adalah milik rakyat (milkiyah ‘ammah) yang haram diberikan kepada swasta. SDA itu harus dikelola negara mewakili rakyat dan seluruh hasilnya dikembalikan untuk kepentingan rakyat. Syariah Islam juga menetapkan tanah-tanah terlantar dikuasai negara. Negara kemudian membagikannya kepada rakyat yang mampu menggarapnya, dan bukan menguasakannya kepada pemodal besar seperti dalam sistem kapitalisme sekarang ini.
      Sudah banyak UU yang dikeluarkan pemerintah tetapi tidak pernah bisa menyelesaikan dengan tuntas masalah-masalah yang terjadi. Inilah ciri khas kapitalisme, tambal sulam. Menyelesaikan masalah dengan solusi yang justru akan menimbulkan masalah baru. Islam hadir sebagai aturan yang berasal dari Pencipta manusia memiliki cara untuk menangani konflik-konflik tersebut. Syariah Islam akan menetapkan sumber daya yang depositnya besar dan tanah terlantar akan dikelola negara kemudian hasilnya akan digunakan untuk kepentingan rakyat.
      Manusia dengan segala keterbatasannya harus mengakui bahwa aturan yang dibuatnya pun penuh keterbatasan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, sudah selayaknya kita menggunakan aturan yang menciptakan manusia dengan segala kesempurnaan-Nya untuk menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan, yaitu dengan aturan Islam. Bukan saatnya lagi kita mempertahankan aturan-aturan tambal sulam kapitalis ini karena yang dilakukan bukanlah mennyelesaikan masalah, yang ada adalah bagaimana para kapital itu tetap tegak berdiri dengan meminta pemerintah untuk tetap mempertahankan negara -yang sebenarnya sudah bobrok- sebagai pelindung dari berbagai  kepentingan dirinya.
      Penerapan syariat Islam sebagai solusi tanpa didukung adanya sebuah negara ibarat seseorang haus yang menuang air dalam bejana tidak ke dalam gelas, membiarkannya tumpah kemana-mana.Jadi, syariat Islam butuh sebuah institusi yang mampu menerapkannya secara sempurna sehingga syariat Islam mampu memperlihatkan dirinya sebagai problem solver dari setiap permasalahan kehidupan. Institusi tersebut tidak lain adalah sistem pemerintahan Islam yang khas yang dengannya syariah Islam mampu diterapkan.  Bukan federal, monarki ataupun republik.tetapi tata aturan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, Khilafah Islamiyah.

Jumat, 14 Oktober 2011

Euforia Beragama

Di salah satu buku Ustadz Fauzil Adhim yang saya baca, beliau membahas mengenai orang yang sedang mengalami euforia beragama. Sesuatu hal yang penting untuk kita cermati, karena hal ini terjadi disekitar kita. Berikut ini kutipannya:

[O]rang yang sedang mengalami euforia beragama. Mereka sedang semangat-semangatnya menjalankan agama sehingga tidak jarang sikap mereka berlebihan. Perintah untuk menundukkan pandangan (Ghodul Bashor) sering diterapkan dalam bentuk memalingkan muka atau bahkan membuang muka secara demonstratif sehingga menyakiti hati orang yang diajak bicara. Pada umumnya, ilmu agama mereka masih dangkal. Itu sebabnya, mereka sering bertindak sangat reaktif tanpa berusaha untuk tabayyun ‘konfirmasi’ ketika menjumpai perbedaan pendapat untuk soal-soal kecil yang guru-guru mereka paling senior justru menerimanya dengan lapang dada.

Sepanjang saya perhatikan, besar kecilnya euforia beragama berkait erat dengan pengalaman mereka sebelumnya. Secara umum, mereka yang mengalami euforia secara mencolok adalah mereka yang pada masa sebalumnya menjalani kehidupan sekuler, sangat jauh dari nilai agama, dan bahkan menyerempet pada kehidupan bebas. Semakin jauh dari nilai agama dan semakin miskin pengetahuan agama mereka pada masa sebelumnya, cenderung menjadikan mereka mengalami euforia yang semakin besar. Mereka inilah yang kerap kurang memperhatikan adab-adab dalam berbeda pendapat, sehingga bisa menimbulkan suasana tidak enak jika terjebak dalam diskusi dengan mereka.  Akan tetapi, kehadiran mereka tentu saja harus diterima dengan lapang dada karena mereka masih baru berproses. Hanya saja, ada hal yang agak riskan manakala mereka masih larut dalam euforia beragama ternyata sudah mempunyai binaan.

Berkenaan dengan euforia sebagian saudara-saudara kita, sering ada salah persepsi. Sikap mereka yang reaktif dan tampak sangat bersemangat, sering kita salah artikan sebagai militansi, padahal euforia yang tidak dikendalikan dengan baik justru rentan terhadap futur (terputus di tengah jalan) sehingga merusak militansi. Orang-orang yang sedang mengalami euforia sering tampak lebih bersemangat, lebih gegap gempita dan lebih keras reaksinya terhadap segala sesuatu yang bertentangan dengan apa yang ‘diyakini’. Begitu gegap gempitanya semangat mereka sehingga mereka lebih keras sikapnya dibandingkan orang yang benar-benar kokoh dan militan. Repotnya, sikap yang berlebihan itu justru pada gilirannya menyebabkan mereka mudah kehilangan semangat. Mereka futur atau malah kehilangan kepercayaan terhadap sesama umat islam hanya karena mengalami benturan kecil.

Fenomena patahnya orang yang semula bersemangat luar bisaa ini sebenarnya ‘wajar’. Rasulullah sendiri telah mengisyaratkan agar kita berhati-hati terhadap euforia beragama.

Sabda Rasulullah SAW. “Setiap amal itu ada masa semangat dan masa lemahnya. Barang siapa yang pada masa lemahnya tetap dalm sunnahku (petunjukku) maka dia telah beruntung. Akan tetapi, baran siapa yang beralih pada selain itu bearti ia telah celaka.” (HR. Ahmad)

Rasulullah juga pernah mengingatkan Abdullah bin Amr bin Ash RA “Wahai Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan. Sebelum ini, ia rajin bangun pada malam hari (shalat tahajjud) namun kemudian ia tinggalkan sama sekali.(HR. Bukhari dalam Fathul-Bari)

Mereka yang masih dalam kondisi euforia acapkali bersikap sangat keras dan kaku. Apabila menghadapi pendapat yang berbeda atau dianggap terlalu lunak, acapkali mereka menghadapinya secara konfrontatif. Tidak terkecuali terhadap orang tua dan orang-orang terdekat.

Tulisan tersebut menuntut saya untuk lebih peka terhadap diri sendiri dan orang-orang disekitar saya yang mungkin saya sedang mengalami hal tersebut.

Wallahu'alam bis Shawab


Diketiik ulang oleh: Adirfrida
Editor: Rulian

Rabu, 14 September 2011

HAKIKAT TAQARRUB ILLALLAH

Tak sedikit yang salah paham tentang pengertian taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah). Taqarrub ilallah hanya dianggap sebatas ibadah ritual, seperti shalat, puasa, haji, dzikir, dan sebagainya. Sedang pelaksanaan ajaran Islam dalam interaksi antar manusia seperti perjuangan menegakkan syariah dan menjalankan roda pemerintahan Islam, dianggap bukan taqarrub ilallah. Padahal sebenarnya tidak demikian. Reduksi pengertian taqarrub ilallah ini dapat terjadi setidaknya karena dua faktor. Pertama, dominasi paham sekularisme yang membatasi otoritas agama hanya pada hubungan privat antara manusia dan Tuhan. Kedua, adanya kesalahpahaman mengenai konsep taqarrub ilallah itu sendiri.

Pengertian dan Ruang Lingkup Taqarrub Ilallah
Istilah taqarrub ilallah berasal dari nash-nash syara' yang membicarakan upaya pendekatan diri kepada Allah SAW. Antara lain hadis qudsi dari Nabi SAW bahwa Allah berfirman,"Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih aku cintai daripada melaksanakan apa yang Aku wajibkan kepadanya, dan tidaklah hamba-Ku terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan nafilah-nafilah (nawafil) hingga aku mencintainya." (HR Bukhari & Muslim, Fathul Bari, 18/342; Syarah Muslim, 9/35).

Dari frase "mendekatkan diri kepada-Ku" (yataqarrabu ilaiyya) inilah kemudian lahir istilah taqarrub ilallah. Kata "taqarrub" secara bahasa artinya adalah mencari kedekatan (thalab al-qurbi). Jadi taqarrub ilallah artinya secara bahasa adalah mencari kedekatan dengan Allah. (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, 18/342).

Dari pengertian bahasa inilah para ulama berusaha merumuskan pengertian taqarrub ilallah secara syar'i. Para ulama, seperti Imam Nawawi dan Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, menyatakan arti kedekatan secara fisik antara manusia dan Allah dalam arti jarak (masafah) jelas adalah mustahil. Jadi hadis Nabi SAW di atas tidak dapat diartikan menurut arti hakikinya, melainkan harus dipahami dalam arti majazinya (arti kiasan) yang telah masyhur dalam gaya bahasa orang Arab. Maka dari itu, makna syar'i dari taqarrub ilallah adalah melaksanakan ketaatan kepada Allah dengan menjalankan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. (Fathul Bari, 21/132; Syarah Muslim, 9/35; Al-Muntaqa Syarah Al-Muwaththa`, 1/499; Syarah Bukhari li Ibn Bathal, 20/72).

Secara lebih rinci, Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam kitabnya Jami' Al-'Ulum wa Al-Hikam (38/9-12) menerangkan ruang lingkup taqarrub ilallah. Menurut beliau, orang yang melakukan taqarrub ilallah ada dua golongan/derajat. Pertama, orang yang melaksanakan kewajiban-kewajiban (ada` al-faraidh), yang meliputi perbuatan melakukan yang wajib-wajib (fi'lul wajibat) dan meninggalkan yang haram-haram (tarkul muharramat), sebab semuanya termasuk yang diwajibkan Allah atas hamba-Nya. Contohnya, mengerjakan sholat lima waktu. Kedua, orang yang melaksanakan yang sunnah-sunnah (nawafil), misalnya sholat tahajjud dan tarawih.

Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa taqarrub ilallah bukan hanya berupa ibadah mahdhah semata, melainkan mencakup semua aktivitas untuk melakukan yang wajib-wajib dan yang sunnah-sunnah. Baik itu berupa ibadah mahdhah maupun berupa aktivitas interaksi antar manusia. Termasuk juga taqarrub ilallah adalah aktivitas meninggalkan segala macam yang haram-haram, dan juga yang makruh-makruh. (Ibnu Rajab Al-Hanbali, Jami' Al-'Ulum wa Al-Hikam, 38/12).

Maka dari itu, berdakwah untuk memperjuangkan syariah adalah taqarrub ilallah, sebagaimana sholat dan puasa. Sebab berdakwah adalah suatu kewajiban. Demikian pula menuntut ilmu, berbakti kepada orang tua, membayar utang, bekerja mencari nafkah juga taqarrub ilallah, sebagaimana berhaji dan berzakat. Sebab semuanya adalah kewajiban yang ditetapkan Allah SWT. Demikian pula bersedekah dan tersenyum kepada sesama muslim adalah taqarrub ilallah, sebagaimana menyembelih kurban dan puasa Senin Kamis, sebab semua itu adalah kesunnahan yang disukai dalam Islam. Meninggalkan segala bentuk riba, zina, suap, dan khamr juga merupakan taqarrub ilallah, karena meninggalkan yang haram-haram juga merupakan taqarrub ilallah. Tidak makan makanan yang berbau tajam sebelum pergi ke masjid juga taqarrub ilallah, sebagaimana tidak berbicara dalam kamar mandi. Sebab keduanya adalah perbuatan yang makruh hukumnya.

Menerapkan Syariah Islam Juga Taqarrub Ilallah
Para ulama juga menegaskan bahwa taqarrub ilallah juga mencakup aktivitas politik, yaitu menerapkan sistem pemerintahan Islam (Khilafah) dengan melaksanakan Syariah Islam dalam segala aspek kehidupan. Imam Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Al-Fatawa (6/410) berkata,"Adalah suatu kewajiban, menjadikan kepemimpinan [imarah] sebagai bagian dari agama dan jalan mendekatkan diri kepada Allah. Sebab mendekatkan diri kepada Allah dalam urusan kepemimpinan dengan jalan mentaati Allah dan Rasul-Nya termasuk taqarrub yang paling utama [min afdhal al-qurubat]. Yang merusak kepemimpinan tiada lain karena kebanyakan manusia hanya mencari jabatan dan harta benda dengan kepemimpinan itu."

Dalam kitabnya yang lain, As-Siyasah Asy-Syar'iyyah (1/174), Imam Ibnu Taimiyah menyatakan,"Syariah Islam telah datang untuk mengelola kekuasaan [sharfu as-sulthan] dan harta benda di jalan Allah. Apabila kekuasaan dan harta benda dimaksudkan untuk taqarrub ilallah dan infaq fi sabilillah, maka itu akan menimbulkan kebaikan agama dan dunia. Namun jika kekuasaan terpisah dari agama, atau agama terpisah dari kekuasaan, maka kondisi masyarakat akan rusak."

Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam Jami' Al-'Ulum wa Al-Hikam (38/11) menerangkan,"Termasuk kewajiban yang merupakan taqarrub ilallah, adalah mewujudkan keadilan, baik keadilan secara umum sebagaimana kewajiban seorang penguasa atas rakyatnya, maupun keadilan secara khusus sebagaimana kewajiban seorang kepala keluarga kepada isteri dan anaknya."

Kemudian Ibnu Rajab Al-Hanbali menyebutkan beberapa hadis yang mendasari pernyataannya itu. Kewajiban menegakkan keadilan secara khusus, dalilnya adalah sabda Nabi SAW : "Setiap-tiap diri kalian adalah bagaikan penggembala, dan setiap penggembala akan dimintai pertanggung jawaban atas gembalaannya." (HR Bukhari & Muslim).

Adapun kewajiban menegakkan keadilan secara umum, yang menjadi kewajiban Imam (Khalifah) dalilnya antara lain sabda Nabi SAW : "Sesunguhnya orang-orang yang berbuat adil berada di sisi Allah, berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya, dan di atas tangan Ar-Rahman (Yang Maha Penyayang), dan kedua tangan-Nya adalah kanan semua. Mereka adalah orang-orang yang berbuat adil dalam pemerintahan mereka dan di tengah keluarga mereka, dan mereka tidak berpaling." (HR Muslim no 3406).

Rasulullah SAW juga bersabda : "Sesungguhnya hamba yang paling dicintai Allah pada hari Kiamat dan yang paling dekat majlisnya dengan-Nya, adalah Imam (Khalifah) yang adil." (HR Tirmidzi, no. 1250).
Berdasarkan hadis-hadis di atas, maka aktivitas menerapkan Syariah secara adil yang dilakukan oleh Khalifah adalah bagian dari taqarrub ilallah. Bahkan, seperti kata Ibnu Taimiyah di atas, menjalankan pemerintahan Islam termasuk taqarrub ilallah yang paling utama [min afdhal al-qurubat].

Pernyataan Ibnu Taimiyah itu tidaklah mengherankan, sebab hanya dengan pemerintahan Islam sajalah umat Islam akan dapat menerapkan hukum-hukum Syariah Islam secara kaffah (menyeluruh). Sistem pidana Islam, sistem pendidikan Islam, sistem ekonomi Islam, dan sistem-sistem Islam yang lain tidak mungkin diterapkan tanpa adanya sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Walhasil, eksistensi Khilafah sangat vital, karena hanya dengan Khilafah taqarrub ilallah akan bisa terlaksana sempurna. Khilafah adalah kunci taqarrub ilallah secara kaffah.

Dengan kata lain, di tengah cengkeraman sekularisme dan tanpa adanya Khilafah seperti kondisi saat ini, akan banyak hukum-hukum Islam yang terbengkalai dan tidak bisa dijalankan. Padahal menerapkan semua hukum Syariah Islam adalah suatu kewajiban (QS 2:208). Maka kondisi ini sudah pasti tak akan mampu mewujudkan taqarrub ilallah yang kaffah. Dan selanjutnya yang terjadi hanyalah kerusakan demi kerusakan belaka, sebagaimana disinyalir oleh Ibnu Taimiyah,"Jika kekuasaan terpisah dari agama, atau agama terpisah dari kekuasaan, maka kondisi masyarakat akan rusak." (As-Siyasah Asy-Syar'iyyah, 1/174).

Urgensi Taqarrub Ilallah
Urgensi taqarrub ilallah adalah demi mencapai kecintaan Allah kepada hamba-Nya. Sabda Nabi SAW : "Dan tidaklah hamba-Ku terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan nafilah-nafilah (nawafil) hingga aku mencintainya." (HR Bukhari & Muslim).

Ibnu Rajab Al-Hanbali menerangkan, jika orang mendekatkan diri kepada Allah, maka dia akan dicintai Allah. Dan orang yang dicintai Allah, akan mendapatkan berbagai balasan yang baik dari Allah, semisal keridhoan dan rahmat Allah, limpahan rizqi-Nya, taufik-Nya, pertolongan-Nya, dan sebagainya. (Jami' Al-'Ulum wa Al-Hikam, 38/10-12; Syarah Muslim, 9/35).

Sebaliknya orang yang tidak mau mendekatkan diri kepada Allah, maka dia tidak akan dicintai Allah, tak akan mendapat berbagai balasan yang baik dari Allah, dan akan diganti Allah dengan orang lain yang mencintai-Nya. Firman Allah SWT (artinya) : "Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS Al-Maidah [5] : 54)

Ibnu Rajab Al-Hanbali menafsirkan ayat di atas dengan berkata,"Dalam ayat ini terdapat isyarat seakan Allah berkata orang yang berpaling dari mencintai Kami, yang tidak mau mendekatkan diri kepada Kami, maka Kami tak akan pedulikan dia, dan akan Kami ganti dia dengan orang yang lebih layak mendapat karunia ini." (Jami' Al-'Ulum wa Al-Hikam, 38/12).

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian taqarrub ilallah adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan cara melaksanakan perintah-perintah Allah baik yang wajib maupun yang sunnah (nafilah), dan dengan meninggalkan larangan-larangan Allah baik yang haram maupun yang makruh.

Taqarrub ilallah tidak hanya terbatas pada ibadah mahdhah saja, seperti sholat dan puasa, melainkan meliputi pula segala ketaatan dalam interaksi antara manusia, termasuk penerapan Syariah Islam secara menyeluruh oleh seorang Khalifah dalam bingkai negara Khilafah.

Keberadaan Khilafah merupakan kunci taqarrub ilallah, karena hanya dengan Khilafah sajalah umat dapat melaksanakan berbagai kewajiban lainnya, yaitu menerapkan hukum-hukum Syariah Islam secara kaffah (menyeluruh). Sebaliknya, sistem Sekularisme sekarang telah mereduksi taqarrub ilallah secara paksa, dan hanya menimbulkan kerusakan di muka bumi karena telah memisahkan kekuasaan dari bimbingan agama. Wallahu a'lam. [ ]

KH. M. Shiddiq Al-Jawi
khilafah1924.org