Seolah tidak ada matinya, kasus korupsi di negeri
ini nampaknya sudah menjadi budaya dan bahkan mendarah daging di kalangan
pemerintah yang katanya memperjuangkan nasib rakyat. Setelah sempat teralihkan
oleh isu kenaikan harga BBM yang akhirnya ditunda hingga 6 bulan ke depan, ternyata
kasus korupsi yang menyeret Bendahara Partai Demokrat, Nazarudin, belum juga
selesai. Setelah sempat sakit beberapa hari, Nazarudin kini kembali ‘bernyanyi’
melantunkan deretan ‘tembang kronologis dan aktor-aktor’ dibalik kasus korupsi
Wisma Atlet SEA Games Palembang yang sudah digarap sejak Maret 2011 lalu.
Sungguh hebat memang, bukannya menurun, kenyataan yang ada
justru memperlihatkan angka korupsi semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Hasil analisis yang ditemukan PPATK bisa menjadi bukti betapa banyaknya korupsi
yang terjadi. Pada Januari 2012 saja
PPATK mendapatkan hasil pelaporan dari 334 penyedia jasa keuangan bahwa
sebanyak 1890 laporan transaksi keuangan yang mencurigakan.
Dan seolah bukan sebuah masalah yang pelik, sikap pemerintah terkesan
tidak serius dalam menangani kasus korupsi yang terus terjadi, hal ini terlihat
salah satunya terlihat dari hukuman bagi para koruptor yang tidak sedikitpun
memberikan efek jera. Hanya sekitar dua tahun rata-rata vonis yang diberikan
kepada para koruptor bahkan jika diberi remisi, hukuman mereka hanya tinggal
sembilan bulan saja. Padahal ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD
berulang-ulang mendorong agar hukuman mati bagi koruptor benar-benar
dilaksanakan. Selain itu sikap abai juga ditunjukkan oleh pemerintah atas desakan
yang sering dikeluarkan ketua MK dalam berbagai kesempatan agar Undang-Undang
(UU) Pembuktian Terbalik segera disahkan. Padahal UU tersebut sudah diajukan
sejak era Presiden Gus Dur tapi nampaknya DPR seperti enggan membahasnya.
Mahalnya biaya pesta demokrasi membuat kejahatan yang
dilakukan oleh kerah putih ini semakin menggila. Pasalnya, proses politik
demokrasi, khususnya proses Pemilu dan Pilkada, memang membutuhkan dana besar.
Untuk maju menjadi caleg dibutuhkan puluhan, ratusan juta bahkan miliaran
rupiah. Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan bahwa biaya minimal yang dikeluarkan
seorang calon sekitar Rp 20 miliar, akan tetapi untuk daerah yang kaya,
biayanya bisa sampai Rp 100 hingga Rp 150 miliar. Kalau ditambah dengan ongkos
untuk berperkara di MK, berapa lagi yang harus dicari. Sedangkan gaji yang
diterima setelah mendapatkan kekuasaan tak seberapa maka tidak salah jika
mereka menjadikan korupsi sebagai satu-satunya cara cepat yang bisa dilakukan
oleh para penguasa dan wakil rakyat untuk mengembalikan biaya politik yang
mereka keluarkan saat pemilu.
Tahun lalu sempat keluar
pernyataan dari Ketua DPR RI Marzuki Ali bahwa KPK harus dibubarkan karena
dinilai tidak mampu memberantas korupsi. Tapi benarkah ini hanya gara-gara
kinerja KPK saja? Pasalnya berbagai langkah antikorupsi telah dilakukan, mulai
dari membuat undang-undang hingga membentuk badan khusus yang bertugas
menangani korupsi ternyata tidak mampu menurunkan 'prestasi' Indonesia sebagai
negara terkorup versi Political and Economic Risk Consultancy tahun 2010 lalu.
Ataukah menggilanya kasus korupsi ini justru karena demokrasi yang prosesnya
membutuhkan biaya yang sangat besar sehingga ketika para wakil rakyat dan
penguasa itu menjabat mereka berlomba bagaimana caranya mengembalikan modal
yang telah mereka keluarkan, bukan fokus mengurusi rakyat??
Jawabannya jelas bukan KPK yang
layak dibubarkan, tetapi justru sistem politik dan pemerintahan demokrasi itu
sendiri. Demokrasi melahirkan para pemimpin bermental korup, zalim, dan rakus.
Demokrasi jugalah yang telah membiasakan para penguasanya untuk gemar berbuat
curang, menerima suap, korupsi, dan melakukan kolusi yang merugikan rakyat. Sistem
pemerintahan ini sesungguhnya penyebab kerusakan penguasa dan pemerintahan yang
sekarang ada bukanlah lagi sekadar disebabkan bejatnya moral para pemimpin,
tapi karena kebusukan sistemnya.
Tidakkah
seharusnya kita sekarang mulai cerdas melihat demokrasi yang ternyata justru
menjadi penyebab menjamurnya korupsi di negari ini serta mencari sebuah sistem tata
kenegaraan baru yang mampu memberantas korupsi secara tuntas?? Mencari sebuah
sistem yang mampu melahirkan pejabat yang amanah, yang benar-benar mengurusi
kepentingan rakyat bukan hanya kepentingan dirinya sendiri. Sistem yang akan
membuat setiap individu didalamnya takut untuk melakukan kejahatan dan sistem
yang mampu membuat masyarakat cerdas dan mampu menjadi kontrol pemerintah saat menjalankan tugasnya sebagai pengurus
rakyat. Tentu bukan kembali kepada sosialis yang sudah runtuh tapi kepada
sistem Islam yang mempunyai aturan yang paripurna karena berasal dari Yang Maha
Sempurna, Allah SWT.