Sabtu, 31 Maret 2012

Mencari Solusi Korupsi untuk Negeri Demokrasi

       Seolah tidak ada matinya, kasus korupsi di negeri ini nampaknya sudah menjadi budaya dan bahkan mendarah daging di kalangan pemerintah yang katanya memperjuangkan nasib rakyat. Setelah sempat teralihkan oleh isu kenaikan harga BBM yang akhirnya ditunda hingga 6 bulan ke depan, ternyata kasus korupsi yang menyeret Bendahara Partai Demokrat, Nazarudin, belum juga selesai. Setelah sempat sakit beberapa hari, Nazarudin kini kembali ‘bernyanyi’ melantunkan deretan ‘tembang kronologis dan aktor-aktor’ dibalik kasus korupsi Wisma Atlet SEA Games Palembang yang sudah digarap sejak Maret 2011 lalu.
      Sungguh hebat memang, bukannya menurun, kenyataan yang ada justru memperlihatkan angka korupsi semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hasil analisis yang ditemukan PPATK bisa menjadi bukti betapa banyaknya korupsi yang terjadi. Pada Januari 2012  saja PPATK mendapatkan hasil pelaporan dari 334 penyedia jasa keuangan bahwa sebanyak 1890 laporan transaksi keuangan yang mencurigakan.
      Dan seolah bukan sebuah masalah yang pelik, sikap pemerintah terkesan tidak serius dalam menangani kasus korupsi yang terus terjadi, hal ini terlihat salah satunya terlihat dari hukuman bagi para koruptor yang tidak sedikitpun memberikan efek jera. Hanya sekitar dua tahun rata-rata vonis yang diberikan kepada para koruptor bahkan jika diberi remisi, hukuman mereka hanya tinggal sembilan bulan saja. Padahal ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD berulang-ulang mendorong agar hukuman mati bagi koruptor benar-benar dilaksanakan. Selain itu sikap abai juga ditunjukkan oleh pemerintah atas desakan yang sering dikeluarkan ketua MK dalam berbagai kesempatan agar Undang-Undang (UU) Pembuktian Terbalik segera disahkan. Padahal UU tersebut sudah diajukan sejak era Presiden Gus Dur tapi nampaknya DPR seperti enggan membahasnya.
            Mahalnya biaya pesta demokrasi membuat kejahatan yang dilakukan oleh kerah putih ini semakin menggila. Pasalnya, proses politik demokrasi, khususnya proses Pemilu dan Pilkada, memang membutuhkan dana besar. Untuk maju menjadi caleg dibutuhkan puluhan, ratusan juta bahkan miliaran rupiah. Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan bahwa biaya minimal yang dikeluarkan seorang calon sekitar Rp 20 miliar, akan tetapi untuk daerah yang kaya, biayanya bisa sampai Rp 100 hingga Rp 150 miliar. Kalau ditambah dengan ongkos untuk berperkara di MK, berapa lagi yang harus dicari. Sedangkan gaji yang diterima setelah mendapatkan kekuasaan tak seberapa maka tidak salah jika mereka menjadikan korupsi sebagai satu-satunya cara cepat yang bisa dilakukan oleh para penguasa dan wakil rakyat untuk mengembalikan biaya politik yang mereka keluarkan saat pemilu.
            Tahun lalu sempat keluar pernyataan dari Ketua DPR RI Marzuki Ali bahwa KPK harus dibubarkan karena dinilai tidak mampu memberantas korupsi. Tapi benarkah ini hanya gara-gara kinerja KPK saja? Pasalnya berbagai langkah antikorupsi telah dilakukan, mulai dari membuat undang-undang hingga membentuk badan khusus yang bertugas menangani korupsi ternyata tidak mampu menurunkan 'prestasi' Indonesia sebagai negara terkorup versi Political and Economic Risk Consultancy tahun 2010 lalu. Ataukah menggilanya kasus korupsi ini justru karena demokrasi yang prosesnya membutuhkan biaya yang sangat besar sehingga ketika para wakil rakyat dan penguasa itu menjabat mereka berlomba bagaimana caranya mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan, bukan fokus mengurusi rakyat??
            Jawabannya jelas bukan KPK yang layak dibubarkan, tetapi justru sistem politik dan pemerintahan demokrasi itu sendiri. Demokrasi melahirkan para pemimpin bermental korup, zalim, dan rakus. Demokrasi jugalah yang telah membiasakan para penguasanya untuk gemar berbuat curang, menerima suap, korupsi, dan melakukan kolusi yang merugikan rakyat. Sistem pemerintahan ini sesungguhnya penyebab kerusakan penguasa dan pemerintahan yang sekarang ada bukanlah lagi sekadar disebabkan bejatnya moral para pemimpin, tapi karena kebusukan sistemnya.
Tidakkah seharusnya kita sekarang mulai cerdas melihat demokrasi yang ternyata justru menjadi penyebab menjamurnya korupsi di negari ini serta mencari sebuah sistem tata kenegaraan baru yang mampu memberantas korupsi secara tuntas?? Mencari sebuah sistem yang mampu melahirkan pejabat yang amanah, yang benar-benar mengurusi kepentingan rakyat bukan hanya kepentingan dirinya sendiri. Sistem yang akan membuat setiap individu didalamnya takut untuk melakukan kejahatan dan sistem yang mampu membuat masyarakat cerdas dan mampu menjadi kontrol pemerintah  saat menjalankan tugasnya sebagai pengurus rakyat. Tentu bukan kembali kepada sosialis yang sudah runtuh tapi kepada sistem Islam yang mempunyai aturan yang paripurna karena berasal dari Yang Maha Sempurna, Allah SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar