Rabu, 11 April 2012

Menolak RUU PT: Menolak Liberalisme


Suatu sistem pendidikan sangat dipengaruhi oleh warna kebijakan dan perangkat sistem negaranya. Sistem politik dan ekonomi punya pengaruh signifikan terhadap visi dan paradigma negara dalam mendesain sistem pendidikannya. Sistem politik pemerintahan yang fungsinya memimpin dan melindungi rakyat, dan sistem ekonomi yang fungsinya mengelola sumber daya ekonomi untuk menyejahterakan rakyat tentu akan menentukan bagaimana sebuah sistem pendidikan itu didesain dan dijalankan.

Begitu pula yang terjadi di negeri ini, sistem politik ekonomi yang diterapkan jelas sangat mempengaruhi sistem pendidikannya. Pandangan politik ekonomi negeri ini yang neoliberal membuat sikap pemerintah mau tidak mau harus mengikuti arus global. Dan sistem pendidikan nasional yang miskin visi hanya mampu mengarahkan penciptaan kapasitas peserta didik untuk memenuhi kebutuhan pasar atau industri. Pendidikan yang berorientasi kepada kebutuhan pasar bebas berarti telah menjadikan pendidikan layaknya komoditas yang diperdagangkan. Pendidikan kemudian tunduk pada hukum pasar dan logika bisnis yang bertumpu pada pola pikir materialistik, kapitalistik, dan pragmatis. Berbagai komponen pendidikan: visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, manajemen pengelolaan, dan berbagai komponen pendidikan lainnnya harus tunduk pada hukum pasar dan logika bisnis. Selain itu, pendidikan yang dijual tersebut harus mendapatkan pengakuan dari lembaga internasional yang kredibel, melalui sertifikat akreditasi yang diakui (recognized).

Sistem pendidikan pragmatis berorientasi pasar sebenarnya berkembang bukanlah tanpa sengaja. Awalnya digagas di Amerika Serikat yang menemukan hasil penelitian pada tahun 60-an terkait investasi di bidang pendidikan. Penelitian tersebut menunjukkan, investasi di bidang pendidikan jauh lebih menguntungkan daripada investasi di bidang saham. Setelah itu, Amerika Serikat membiayai penelitian terapan di bidang pendidikan tidak kurang dari USD6 milia. Hasilnya, Amerika Serikat memiliki sistem pendidikan pragmatis yang berorientasi pasar. Standarisasi terhadap semua aspek pendidikan mereka lakukan, dan hasilnya diakui dunia karena lulusannya sangat unggul dan mampu bersaing merebut peluang. Untuk itu, sejak tahun 70-an hingga sekarang, Amerika Serikat menjadi kiblat pendidikan di dunia.

Pada tahap selanjutnya, model pendidikan Amerika ini diadopsi oleh seluruh dunia, hingga timbul kesepakatan dari seluruh negara di dunia, bahwa pendidikan adalah salah satu komoditas yang diperdagangkan. Kesepakatan ini dimotori oleh WTO melalui General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya.

Dengan ditandatanganinya GATS, walhasil sistem pendidikan pragmatis yang pro-pasar semakin banyak diadopsi oleh negara-negara di dunia. Agar GATS berkiprah di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia, maka intervensi pemerintah dalam sektor jasa harus dihilangkan. Dengan penduduk lebih dari 210 juta jiwa, tingkat partisipasi pendidikan tinggi sekira 14 persen dari usia 19-24 tahun, minimnya visi dan perhatian pemerintah Indonesia terhadap bidang pendidikan, serta rendahnya mutu pendidikan, menjadikan Indonesia sebagai incaran negara-negara eksportir jasa pendidikan dan pelatihan.

Enam negara yang telah meminta Indonesia untuk membuka sektor jasa pendidikan adalah Australia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, Korea dan Selandia Baru. Sub sektor jasa yang ingin dimasuki adalah pendidikan tinggi, pendidikan sepanjang hayat, pendidikan profesi, dan vokasi. Jelas, modus kerja sama seperti ini akan lebih menguntungkan negara yang memiliki keunggulan ekonomi dan teknologi. Sebuah kerja sama pendidikan jika dilaksanakan dalam kondisi interdependensi simetris antarnegara memang dapat menguntungkan kedua negara untuk mengembangkan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan (knowledge based economy). Tapi dalam kondisi interdependensi a-simetris dan lebih-lebih bila penyediaan jasa pendidikan tinggi lebih dilandasi oleh motif for-profit semata, maka negara berkembang yang jelas akan menjadi korban dan dikorbankan.

Saat ini, pemerintah Indonesia sedang ‘asyik’ mempersiapkan pengesahan RUU PT yang merupakan pengganti UU BHP yang dibatalkan MK April 2010. Pembatalan tersebut dikarenakan UU BHP dinilai mengandung nuansa neoliberal yang bisa menghilangkan kewajiban pemerintah sebagai penanggungjawab upaya mencerdaskan bangsa melalui penyediaan fasilitas pendidikan berkualitas dan murah. Jika kita lihat dengan seksama, permasalahan yang ada dalam RUU PT tersebut tidak hanya pada pasalnya. Lebih dari itu, asas yang menjadi landasan dibuatnya RUU PT ini pun bermasalah. Nuansa liberalisme tidak bisa dilepaskan dari pembahasan RUU ini.

RUU PT yang sedang digodok oleh pemerintah saat ini sebenarnya tidak akan jauh berbeda dengan UU BHP yang dibatalkan MK dua tahun lalu, masih berbau liberalisme. Sebagai anggota World Trade Organization (WTO) Indonesia tidak bisa mengelak dari seluruh kesepakatan yang dibuat dan ditandatangani. Dalam kasus ini, sesuai UU No. 7 tahun 1994 tentang pengesahan Agreement on Establishing the World Trade Organization, Indonesia pun tidak bisa mengelak dari liberalisasi pendidikan. Fakta ini menunjukkan bahwa pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia masuk dalam paradigma baru, yaitu mengubah peran dan fungsi pemerintah yang semula sebagai penanggung jawab pendidikan tinggi hanya sebagai fasilitator.

Satu yang paling terlihat dari upaya liberalisasi itu sendiri tercermin dari Bagian Keempat tentang Pengelolaan Perguruan Tinggi tentang adanya prinsip otonomi terhadap pengelolaan pendidikan tinggi yang bermakna kemandirian PT untuk mengelola sendiri lembaganya. Kemandirian ini tidak bisa secara mutlak dianggap sebagai nilai positif, karena bagaimanapun juga sebuah PT yang berdiri di Indonesia harus mendapat kawalan pemerintah dalam penyelenggaraan proses pendidikan didalamnya, karena menyangkut masa depan generasi bangsa ini. Prinsip otonomi yang menjadi nafas pada banyak pasal RUU PT akan mengantarkan PT pada proses komersialisasi yang tidak dapat dihindari. Aset-aset PT akan dijadikan sebagai lahan bisnis untuk mencari uang. Dan ketika PT tidak memiliki aset dan kesulitan mencari cara lain untuk memperoleh dana maka kemungkinan besar yang akan dilakukan PT untuk menutupi biaya operasional adalah menaikkan biaya pendidikan dari masyarakat. Pada titik ini, PT hanya akan bisa diakses oleh mereka yang punya uang. Lebih parah lagi, jika PT yang berbentuk badan hukum ini pada perjalanannya mengalami bangkrut/pailit, maka ini akan menjadi bencana bagi para mahasiswa.

Prinsip transparansi seharusnya tidak terbatas pada masalah keuangan atau laporan program kerja, tapi juga pengembangan riset. Masyarakat berhak tahu riset apa yang dikembangkan PT sehingga masyarakat bisa memanfaatkan hasil riset tersebut, tidak hanya kalangan industri tertentu yang pada akhirnya membuat hasil riset tidak bisa dimanfaatkan secara optimal bagi kemaslahatan masyarakat karena profit oriented yang dilakukan oleh industri tertentu. Prinsip akuntabilitas sama halnya dengan prinsip transparansi, pertanggungjawaban PT juga harus melibatkan masyarakat secara umum yang tidak terbatas pada sedikit orang dari para pemangku kepentingan PT saja. Prinsip penjaminan mutu harus dibuat berdasarkan blueprint PT yang dibuat pemerintah untuk menjadikan bangsa ini unggul sesuai dengan asas pendidikan yang seharusnya.

Ini dari segi pengelolaan, masih banyak lagi pasal bermasalah lainnya yang menjadikan kita harus menolak RUU PT ini. Liberalisasi pendidikan tinggi dalam era globalisasi memang tidak bisa terelakkan lagi. Perdagangan bebas yang semakin gencar mengantarkan pendidikan menjadi salah satu sektor jasa yang turut diperdagangkan secara bebas merupakan dampak dari globalisasi ini. Globalisasi merupakan interdependensi yang tidak simetris antarnegara, karena itu interdependensi antarnegara yang seperti itu akan lebih menguntungkan negara yang memiliki keunggulan ekonomi dan teknologi. Sementara bagi negara dunia ketiga seperti Indonesia yang secara ekonomi dan teknologinya msih bergantung pada negara maju, globalisasi berarti kolonialisasi. Salah satu manifestasi globalisasi pendidikan tinggi adalah berkembangnya pasar pendidikan tinggi yang tanpa batas.

Indonesia sebagai sebuah negara harusnya mampu memberikan sikap terhadap arus globalisasi. Indonesia sebenarnya bukan tidak mampu melepaskan diri dari cengkraman liberalisme, hanya saja Indonesia tidak memiliki pandangan atau ideologi yang berbeda dengan liberalisme sehingga mau tidak mau Indonesia harus tetap ikut arus dengan perputaran globalisasi dunia dan bagi Indonesia ini artinya adalah kolonialisasi. Penjajahan.

Indonesia harus memiliki sebuah world view baru yang bisa membuatnya terlepas dari liberalisme ini sehingga mampu mewujudkan apa yang menjadi cita-citanya, mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan masihnya Indonesia berkutat dengan liberalisme ini, pemerintah tidak akan pernah bisa membuat pendidikan menjadi terjangkau tetapi justru akan terus membuat pendidikan semakin mahal karena harus menyediakan ‘lapak’ bagi asing untuk membuka tempat pendidikan tinggi. Butuh sebuah paradigma baru yang berbeda dengan liberalisme-yang terlahir dari asas menegasikan agama dari kehidupan atau sekulerisme- yaitu asas yang mengambil aturan Tuhan sebagai aturan kehidupan. Islam.

dimuat di http://kampus.okezone.com/read/2012/04/09/367/607962/menolak-ruu-pt-menolak-liberalisme

Tidak ada komentar:

Posting Komentar