Sejak akhir Januari lalu hingga saat ini, masyarakat masih terus disuguhi dengan berita penangkapan seorang artis yang tengah naik daun, Raffi Ahmad, karena mengonsumsi narkoba yang baru-baru ini tercatat sebegai narkoba jenis baru, methylone. Kasus ini menambah deretan panjang public figure ibu kota yang terjerat dalam kasus penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Penangkapan Raffi Ahmad oleh BNN adalah satu dari sekian juta kasus penyalahgunaan narkoba yang terjadi di masyarakat.
Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat, prevalensi pecandu narkoba secara nasional yaitu sebnyak 2,2 persen dari jumlah penduduk Indonesia dan 70 persennya berada di Ibu Kota. Jika dirata-rata pada lima wilayah Jakarta, maka disetiap kotaadministratif terdapat 60.000 pecandu narkotika atau 6.000 pecandu narkotila di setiap kecamatan du DKI Jakarta. Angka ini bukan tidak mungkin akan terus bertambah setiap tahunnya dan tidak hanya menyentuh dunia keartisan saja, para pemegang kekuasaan pun tidak luput dari godaan barang haram ini.
Jika diperhatikan, makin akutnya kejahatan narkoba, disebabkan penanganan yang salah dan penegakan hukum yang lemah serta hukuman yang tidak memberikan efek jera. Ibu Negara Ani Yudhoyono pada tahun 2009 menyatakan bahwa seharusnya para pemakai narkoba ditempatkan di panti rehabilitasi bukan penjara, yang artinya pemakai narkoba adalah korban sehingga tidak akan dikriminalkan. Hanya produsen dan pengedarlah yang dikriminalkan. Tetapi bukankah pengguna narkoba mengkonsumsi barang haram tersebut atas dasar kesadaran, bukan karena paksaan? Lalu dari sisi manakah mereka bisa dianggap sebagai korban?
Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat, prevalensi pecandu narkoba secara nasional yaitu sebnyak 2,2 persen dari jumlah penduduk Indonesia dan 70 persennya berada di Ibu Kota. Jika dirata-rata pada lima wilayah Jakarta, maka disetiap kotaadministratif terdapat 60.000 pecandu narkotika atau 6.000 pecandu narkotila di setiap kecamatan du DKI Jakarta. Angka ini bukan tidak mungkin akan terus bertambah setiap tahunnya dan tidak hanya menyentuh dunia keartisan saja, para pemegang kekuasaan pun tidak luput dari godaan barang haram ini.
Jika diperhatikan, makin akutnya kejahatan narkoba, disebabkan penanganan yang salah dan penegakan hukum yang lemah serta hukuman yang tidak memberikan efek jera. Ibu Negara Ani Yudhoyono pada tahun 2009 menyatakan bahwa seharusnya para pemakai narkoba ditempatkan di panti rehabilitasi bukan penjara, yang artinya pemakai narkoba adalah korban sehingga tidak akan dikriminalkan. Hanya produsen dan pengedarlah yang dikriminalkan. Tetapi bukankah pengguna narkoba mengkonsumsi barang haram tersebut atas dasar kesadaran, bukan karena paksaan? Lalu dari sisi manakah mereka bisa dianggap sebagai korban?
Potret salah penanganan narkoba ternyata tidak hanya
dilakukan pada pengguna saja, tetapi juga pada para pengedar dan produsen. Keringanan
hukuman atau grasi justru malah diberikan SBY terhadap Schapelle Leigh Corby narapidana narkoba yang dihukum 20 tahun penjara di
LP Kerobokan Bali dan Meirika
Franola yang vonis hukuman mati karena menyelundupkan 3 kilogram kokain dan 3,5
kg heroin di Bandara Soekarno-Hatta pada 12 Januari 2000 lalu. Hal tersebut
sangatlah kontra-produktif dengan keprihatinan yang disampaikan Presiden
RI ke- 6 ini terhadap kasus yang menimpa Raffi Ahmad.
Hukuman atas kejahatan narkoba yang tidak memberikan efek
jera itu justru makin memperparah masalah. Jangankan membuat jera orang lain,
orang yang sudah dihukum pun tidak jera. Wajar saja jika rehabilitasi pecandu
narkoba dan pemberian grasi kepada pengedar dan bandar dinilai bisa melemahkan
pemberantasan narkoba. Pemberantasan narkoba yang terus digencarkan BNN pun
akan bernilai tidak efektif karena sama sekali tidak memberikan efek jera
teradap pelakuknya, sedang disisi lain Indonesia
terus menjadi incaran sindikat narkoba maka tidak aneh jika kasus narkoba tiap
tahun mengalami peningkatan yang sangat pesat.
Dibutuhkan sistem hukum yang
memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan narkoba baik pencandu, pengedar
apalagi bandar. Sebuah sistem hukum yang kebal uang dan berfungsi sebagai pemberi
efek jera kepada pelaku kejahatan tanpa terkecuali. Sistem hukum seperti ini
bisa kita dapatkan jika kita menginduk kepada aturan Islam. Syaikh Abdurrahman
al-Maliki di dalam Nizhâm al-‘Uqûbât menyatakan, tidak ada pemaafan atau
pengurangan hukuman. Beliau juga menyatakan, jika vonis telah ditetapkan maka hal
tersebut mengikat seluruh masyarakat sehingga
tidak boleh dibatalkan, dihapus, dirubah atau diringankan ataupun yang lain,
selama vonis itu masih berada dalam koridor syariah.
Selain itu dua aspek di atas, pelaksanaan hukuman yang
dijatuhkan itu harus dilakukan secepatnya, tanpa jeda waktu lama dari waktu
kejahatan dan dijatuhkannya vonis. Pelaksanaan hukuman hendaknya disaksikan
oleh masyarakat seperti dalam had
zina sehingga masyarakat memahami bahwa itu adalah sanksi atas kejahatan
tersebut. Dengan begitu setiap orang akan berpikir ribuan kali untuk melakukan
kejahatan serupa. Maka dengan itu kejahatan penyalahgunaan ataupun pengedaran
narkoba akan bisa diselesaikan tuntas melalui penerapan syariah Islam.
Sistem hukum yang digunakan Indonesia saat ini sudah
tidak mempan untuk memberantas kejahatan narkoba dan hampir mustahil
diharapkan. Pemberian grasi untuk Corby dan Ola adalah bukti nyata hukuman bagi
pelaku kejahatan narkoba begitu lemah. Dengan keadaan yang terus seperti itu
artinya kejahatan narkoba akan terus mengancam seluruh lapisan masyarakat tanpa
terkecuali. Kejahatan narkoba itu hanya bisa dibasmi ketika syariah Islam
diterapkan secara total dan sempurna dalam institusi negara.
Dimuat di http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/13/02/08/mhvrns-islam-memberantas-narkoba
Tidak ada komentar:
Posting Komentar