Sabtu, 18 Mei 2013

Subsisi BBM Bebani APBN, Benarkah?


Lagi, BBM akan dinaikkan! Setelah sekian lama mengalami penundaan, akhirnya wacana pengurangan subsidi BBM alias kenaikan harga BBM akan segera dilaksanakan Mei 2013 ini. Kali ini kenaikan BBM memang tidak pukul rata untuk semua pihak, hanya bagi rakyat yang memiliki mobil saja. Pengendara motor dan supir angkot kali ini masih selamat. Hal ini harus dilakukan karena pemerintah menilai jika subsidi BBM tidak dikurangi maka akan semakin membebani APBN karena harus ada tambahan biaya sebesar 30 triliun. Pemerintah takut 'jatuh miskin' jika BBM bagi rakyat terus menerus disubsidi, makanya membatasi BBM bersubsidi adalah jalan keluar yang ampuh untuk mencegah 'kemiskinan' pemerintah.

Jika pemerintah gagal miskin, tapi bagaimana dengan nasib si miskin yang sebenarnya (rakyat) ketika BBM bersubsidi dibatasi? Satu hal yang pasti, rakyat akan dikondisikan untuk semakin menikmati kemiskinannya. Sudah dapat dipastikan, dengan naiknya harga BBM harga-harga barang pun akan mengalami kenaikan. Di sisi lain, daya beli masyarakat tidak berbanding lurus dengan naiknya harga BBM dan barang-barang akibatnya penghimpitan hidup lagi yang harus dinikmati masyarakat.

Andai pemerintah mau benar-benar mengurusi rakyat, pemerintah pasti akan mencari segala cara agar harga BBM bagi rakyat tetap stabil atau bahkan berkurang. Misalnya saja, jika pemerintah benar-benar berniat, banyak pos-pos APBN yang bisa dikurangi sehingga tidak perlu mempersoalkan subsidi BBM. Salah satunya adalah dengan mengurangi belanja birokrasi di APBN 2013 yang mencapai 400,3 triliun atau 35,2% dari belanja pemerintah pusat. Atau dengan membayar utang luar negeri tanpa bunga yang bisa menghemat sampai 123 triliun.

Keadaan pelik ini (naiknya BBM) mau tidak mau harus diterima rakyat karena pemerintah tidak bisa meninggalkan hobi 'ngutang' nya. Padahal sudah sangat jelas persyaratan 'ngutang' akan sangat menyengsarakan rakyat. Bisa kita lihat dalam dokumen program USAID, TITLE AND NUMBER: Energy Sector Governance Strengthened, 497-013 menyebutkan: “tujuan strategis ini akan menguatkan pengaturan sektor energy untuk membantu membuat sektor energy lebih efisien dan transparan, dengan jalan meminimalkan peran pemerintah sebagai regulator, mengurangi subsidi, mempromosikan keterlibatan sektor swasta” yang itu artinya sama saja dengan pencabutan subsidi BBM.

Sebenarnya amat sangat lebay jika pemerintah mengatakan subsidi BBM membebani APBN sehingga harus dikurangi atau bahkan sampai dihilangkan. Karena sebenarnya pemerintah bisa mendapatkan banyak uang tanpa harus menghentikan subsidi BBM dengan melakukan penghematan di pos-pos APBN yang tidak begitu penting. Misalnya saja pemerintah bisa melakukan penghematan 10 % belanja birokrasi maka akan didapat 40 triliun lebih. Atau dengan tidak menjual SDA kepada asing, gunung emas di Papua misalnya, sebenarnya ketika dieksplor akan mampu meringankan APBN.

Sayangnya kondisi tersebut tidak akan bisa diwujudkan dalam sistem demokrasi saat ini dan tidak naiknya harga BBM hanyalah tinggal wacana yang tidak akan pernah menjadi kenyataan. Hal ini disebabkan karena asas demokrasi menjadikan negara harus menjamin kebebasan bagi siapapun untuk bebas bersaing dan berlomba untuk memiliki apa yang diinginkan.  Dalam hal ini adalah membiarkan swasta bersaing dengan Pertamina (BUMN) untuk menguasai migas Indonesia.

Jika pemerintah mau sedikit cerdas dalam memilih solusi untuk menyelesaikan masalah BBM ini, harusnya pemerintah mau mengambil tata aturan islam yang juga mampu mengatur tentang migas. Dalam Islam tidak diperbolehkan individu atau sekelompok orang menguasai SDA yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti halnya aturan main demokrasi-kapitalis.

Inilah potret kontras yang bisa kita lihat antara dua gambaran kehidupan dalam Islam dan demokrasi. Dan rasanya fakta ini bisa kita jadikan alasan untuk meninggalkan demokrasi dan mengambil Islam sebagai solusi. Tentunya ini berlaku bagi mereka yang mau berpikir dan mau keluar dari jeratan masalah kehidupan. Kesejahteraan hanya bisa diwujudkan dalam sistem yang telah terbukti mampu menghapuskan kemiskinan dan kesengsaraan. Khilafah Islamiyyah.

UKT, Hapuskan Biaya Tinggi Kampus Negeri???


Tertanggal 21 Maret 2012, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Surat Edaran (SE) Dirjen Dikti No. 488/E/T/2012  mengeluarkan kebijakan mengenai Uang Kuliah Tunggal (UKT). Namun kebijakan ini belum sepenuhnya diterapkan Perguruan Tinggi Negeri (PTN), hanya beberapa PTN saja yang sudah menerapkan kebijakan ini. Sisanya akan diwajibkan untuk mulai memberlakukan aturan ini pada tahun akademik 2013/2014.
Uang Kuliah Tunggal (UKT) adalah biaya pendidikan perguruan tinggi yang hanya ditarik satu kali dalam tiap semester yang merupakan murni biaya perkuliahan yang tidak tercampur dengan biaya pangkal, kemahasiswaan dan lain-lain. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh bahwa UKT dimaksudkan untuk mengurangi beban biaya pendidikan yang selama ini diberlakukan di perguruan tinggi. M. Nuh mengatakan bahwa konsep UKT ini diawali berdasarkan realitas bahwa uang yang ditarik dari mahasiswa tersebut terlalu banyak. Selain biaya kuliah per semester, mahasiswa masih dibebani dengan berbagai macam sumbangan dari pembangunan gedung, biaya praktikum dan masih banyak lagi.
Kebijakan UKT di PTN dimungkinkan, karena pemerintah telah mengalokasikan dana bantuan operasional PTN (BOPTN) untuk tiap mahasiswa. Bantuan dana untuk biaya BOPTN yang digelontorkan sebesar 2,7 triliun ini pemerintah diyakini dapat menekan biaya operasional yang dibebankan kepada mahasiswa. Karena itu, biaya pendidikan mahasiswa pada 2013 akan diturunkan. 
Jika dilihat secara cermat, pe­nerapan UKT sebenarnya tak jauh beda dari pembiayaan sebelumnya. Biaya UKT dihitung dari to­tal biaya yang dibutuhkan mahasiswa selama studi. Itu sama halnya mahasiswa membayar SPP dan sumbangan-sumbangan lainnya. Hanya saja dilakukan secara global. Ditambah fakta yang menunjukkan di lapangan adalah biaya kuliah tidak menurun, tetap sama dan bahkan lebih meningkat. Meskipun dikatakan bahwa dengan adanya UKT ini tidak lagi berlaku penarikan uang pangkal masuk PTN, tetapi biaya kuliah persemester menjadi meningkat, contohnya adalah Unpad. Prof. Ganjar Kurnia mngatakan bahwa jika uang pangkal harus dihapus bagi mahasiswa baru 2013 program S-1, biaya kuliah per semester di Unpad bakal melonjak. Awalnya rata-rata per fakultas hanya membayar Rp 2 juta menjadi Rp 12 juta per tahun, dan Kedokteran Rp 30 juta per tahun sampai dengan akhir pendidikannya. Lalu, bagaimanan dengan seorang mahasiswa di semester akhir yang tinggal mengerjakan tugas akhir dengan bobot 4 SKS ? Ini jelas sangat membebani mahasiswa!
UKT yang diberlakukan pemerintah sangat sarat dengan liberalisasi dan sebagai bentuk lepas tangan pemerintah terhadap pendidikan warga negara. Asumsi ini diperkuat dengan pernyataan Mendikbud yang menilai bahwa UKT merupakan langkah yang sejalan dengan UU PT yang mengatur tentang standar pembiayaan. Hal ini memang jelas terlihat sebagai upaya liberalisasi PT karena sejalan dengan prinsip otonomi yang menjadi nafas pada banyak pasal UU PT ini yang akan mengantarkan PT pada proses komersialisas. Aset-aset PT bisa dijadikan sebagai lahan bisnis untuk mencari uang. Ketika PT tidak memiliki aset dan kesulitan mencari cara lain untuk memperoleh dana maka kemungkinan besar yang akan dilakukan PT untuk menutupi biaya operasional adalah menaikkan biaya pendidikan dari masyarakat.
Inilah yang tersirat dalam penyataan M. Nuh saat, mengingatkan perguruan tinggi negeri (PTN) untuk tidak membebani mahasiswa baru dengan biaya yang tinggi karena PT memiliki  tiga pos yang menjadi sumber pemasukan. Pos pertama adalah pembiayaan yang berasal dari mahasiswa (UKT) tetapi Mendikbud menyatakan bahwa PTN diinstruksikan untuk menekan pemasukan dari pos ini. Kemudian yang kedua adalah pemasukan yang berasal dari pemerintah. Dalam mekanismenya, jika pemasukan dari blok pertama terus naik maka sokongan di blok kedua akan diturunkan. Tindakan ini merupakan instrumen kontrol finansial agar PTN tidak menaikkan biaya kuliah begitu saja. Jika masih belum mencukupi juga maka solusinya adalah PTN-PTN didorong  untuk menarik banyak keuntungan dari kerja sama dengan pihak ketiga. Karena menurutnya, pemasukan untuk menjamin hidupnya PTN selama ini mengalir dari tiga blok. Blok ketiga adalah kerja sama riset atau penelitian dan industri dengan pihak ketiga. Tidak ada batasan biaya atau keuntungan yang bisa diraup dari kerja sama ini.
Inilah fakta-fakta yang menunjukkan bahwa pemerintah membiarkan begitu saja setelah PTN tidak lagi mampu ‘menghidupi’ dirinya sendiri, PTN harus mencari cara dan memutar otak untuk bekerja sama dengan dengan pihak yang akan menyokong kebutuhan PTN agar pendidikan tetap berjalan. Walaupun pemerintah mengatakan bahwa ini adalah bentuk kemandirian, tetapi sejatinya ini adalah bentuk lepas tangan pemerintah terhadap pendidikan bangsa. Karena bagaimanapun juga sebuah PT yang berdiri di Indonesia harus mendapat kawalan pemerintah dalam penyelenggaraan proses pendidikan didalamnya. Maka jika PT untuk biaya operasional adalah dengan melakukan kerjasama dengan pihak ketiga, maka berjalannya pendidikan akan sangat bergantung pada keinginan pihak ketiga yang akhirnya menjadi dalang dibalik penyelenggaraan PT. Pada titik ini, arus liberalisasi dan komersialisasi menjadi semakin deras menghancurkan pendidikan tinggi indonesia.
Arus liberal akan tertanam di dalam kurikulum pendidikan dan komersialisai pendidikan akann membuat PT hanya akan bisa diakses oleh mereka yang punya uang saja. Liberalisasi pendidikan tinggi dalam era globalisasi memang tidak bisa terelakkan lagi. Perdagangan bebas yang semakin gencar mengantarkan pendidikan menjadi salah satu sektor jasa yang turut diperdagangkan secara bebas merupakan dampak dari globalisasi yang dengan GATS dan G-20nya saat ini mengcengkram Indonesi yang berujung pada kolonialisasi.
Indonesia sebagai sebuah negara harusnya mampu memberikan sikap terhadap arus globalisasi. Indonesia sebenarnya bukan tidak mampu melepaskan diri dari cengkraman liberalisme, hanya saja Indonesia tidak memiliki pandangan atau ideologi yang berbeda dengan liberalisme sehingga mau tidak mau Indonesia harus tetap ikut arus dengan perputaran globalisasi dunia dan bagi Indonesia ini artinya adalah kolonialisasi. Penjajahan.
UKT yang dimaksudkan untuk meringankan beban mahasiswa ternyata merupakan himpunan batu yang akan membuat Indonesia  masih akan berkutat dengan liberalisme dan pemerintah tidak akan pernah bisa membuat pendidikan menjadi terjangkau tetapi justru akan terus membuat pendidikan semakin mahal karena harus menyediakan ‘lapak’ bagi asing untuk menguasai pendidikan tinggi setelah kerjasama yang dilakukan dengan PT. Butuh sebuah paradigma dan political view baru yang berbeda dengan liberalisme-yang terlahir dari asas menegasikan agama dari kehidupan atau sekulerisme- yaitu asas yang mengambil aturan Tuhan sebagai aturan kehidupan. Islam.

Kehajatan Asusila di Indonesia=Jamur Musim Hujan


Mengerikan. Rasanya kata tersebut cocok menggambarkan maraknya kasus asusila yang terjadi di negeri yang menganut demokrasi ini. Bak jamur di musim hujan, tindakan asusila pencabulan dan pemerkosaan seolah sudah menjadi berita yang tidak mungkin terlewatkan setiap harinya. Tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja, tindak asusila ini merambah berbagai kawasan di bumi Indonesia. Selain itu, pelaku pencabulan ini tidak terbatas pada laki-laki dan orang dewasa saja tetapi perempuan dan anak kecil pun ikut ambil bagian menjadi pelaku tindakan yang binatang pun tidak pernah melakukan hal ini.
Di Bengkulu, seorang ibu rumah tangga melampiaskan nafsu syahwatnya dengan memaksa segelintir remaja yang notabene tetangganya. Di  Gowa, Sulawesi Selatan, akibat kecanduan film porno lima orang siswa SD mencabuli siswi rekannya sendiri. Di Jakarta, seorang wakasek SMA negeri melakukan pencabulan berulang-ulang terhadap siswinya. Di Cilegon seorang guru juga tega mencabuli siswinya di ruang laboratorium sekolah.
Rasanya wajar jika tindakan asusila di Indonesia semakin merajalela. Akses masyarakat terhadap gambar ataupun aksi yang berbau porno sudah sangat terbuka lebar. UU Pornografi yang disahkan pun mandul,  tidak mampu melarang produksi dan penyebaran foto atau gambar maupun film yang memperlihatkan aurat wanita atau adegan persetubuhan yang disamarkan. Ditambah lagi rok mini beredar dimana-mana dan kondom sudah semacam paket ekonomis yang memiliki slogan ketika terangsang, tinggal salurkan, tidak berbahaya karena ada pelindung. Maka sangat wajar jika tindakan kejahatan kelamin ini semakin merajalela.
Tidak adanya ketakwaan dalam diri individu yang bisa mengerem setiap diri untuk tidak terjerumus dalam tindakan bejat itu, hilangnya kontrol masyarakat yang membiarkan perangsang-perangsang syahwat terus berkeliaran, dan lemahnya sanksi yang diberikan negara atas pelaku asusila inilah yang membuat manusia kehilangan kehormatannya.
Alam demokrasi ternyata tidak mampu membuat manusia mulia, bahkan atas dasar kebebasannya manusia sudah tidak malu lagi melakukan tindakan yang bahkan tidak pernah dilakukan binatang sekalipun. Inilah potret kehidupan dalam dunia sekuler yang tidak menjadikan agama sebagai aturan, padalah jika aturan Tuhan itu kita ambil maka manusia akan mendapati dirinya sebagai manusia yang tinggi dan terhormat. Bagi mereka yang mau berpikir, rasanya meninggalkan alam hidup yang bejat ini  dan mengambil aturan Allah SWT adalah pilihan cerdas.

RUU Ormas: Jelang Kembalinya Rezin Orde Baru (Potret Kemunafikan Pemerintah)



Indonesia akan menapaki Orde Baru jilid 2. Setelah tindakan main tembak Densus 88 yang dilakukan tanpa bukti yang jelas terhadap mereka yang baru diduga, kini suara masyarakat akan dibungkam dengan jika RUU Ormas diberlakukan. Dalam RUU Ormas dinyatakan bahwa setiap ormas yang ada di Indonesia wajib menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal, jika ormas tidak mau menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal maka ormas tersebut tidak boleh ada dan beraktivitas bahkan akan dibubarkan dengan paksa. Ormas-ormas Islam akan menjadi salah satu sasaran empuk pembubaran jika RUU ini diberlakukan hanya karena menjadikan Islam sebagai asas pembentukan ormasnya dan tidak menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal.
Penentangan tidak hanya datang dari ormas-ormas Islam tetapi juga dari organisasi lain seperti Koalisi Perjuangan Hak Sipil dan Buruh (KAPAK), Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), IMPARSIAL, PSHK Pusat Studi Hukum dan Kebijakan), dan yang lainnya, karena RUU Ormas ini dinilai membelenggu kemerdekaan berserikat dan berorganisasi.  Kemungkinan kembalinya Indonesia ke masa rezim represif dengan diberlakukannya RUU ini sangatlah besar. Hasil kajian yang dilakukan Komnas HAM menilai RUU ini akan mengebiri hak masyarakat sipil untuk berserikat.
Ada beberapa hal yang bisa disoroti kenapa jika diberlakukannya RUU Ormas ini pintu rezim represif akan kembali terbuka, salah satunya adalah kewajiban atas menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Ini sebenarnya adalah bentuk pelanggaran dan pengkhianatan terhadap pembatalan TAP MPR no. II/1978 tentang P4 oleh TAP MPR no. XVIII/1998. Pembatalan asas tunggal pada masa reformasi tersebut dilakukan karena asas tunggal dijadikan legitimasi tindakan kekerasan oleh negara terhadap rakyat dan berbagai ormas. Begitupun yang akan terjadi nanti, kondisinya tidak akan jauh berbeda. Pemerintah akan dengan seenaknya melarang aktivitas ormas yang katanya tidak sesuai dengan Pancasila dan bahkan membubarkannya.
Tetapi ada ketimpangan dan dikriminasi yang dilakukan pemerintah. RUU itu tidak berlaku bagi ormas yang menjadi sayap partai politik dan hanya berlaku bagi ormas independen yang bukan tunggangan politik. Sikap diskriminasi ini merupakan bentuk ketidakkonsistenan pemerintah dan terlihat sekali peran kepentingan bermain dalam RUU Ormas ini. Masyarakat bisa menilai sebenarnya siapa yang paling dibidik jika RUU Ormas ini diberlakukan. Ormas Islamkah yang menjadi korbannya hanya karena menjadikan Islam sebagai asas utamanya? Jelas!
Sebelum menyatakan Pancasila sebagai asas tunggal, harusnya pemerintah menilai apakah Pancasila memang layak dijadikan asas tunggal yang mampu melahirkan aturan komprehensif untuk setiap permasalahan yang timbul di Indonesia dan sudah sejauh mana Pancasila dilaksanakan oleh pemerintah itu sendiri. Pada faktanya, aturan yang selama ini dibuat tidak bersumber pada Pancasila. Dalam ranah hukum ini sangat terlihat jelas, sumber hukum di Indonesia adalah KUHP yang merupakan warisan penjajah Belanda yang masih dipertahankan.
Dalam pelaksanaannya pun emerintah sepertinya harus berkaca, mereka memerintahkan memberlakukan Pancasila sebagai asas tunggal bagi setiap ormas. Tetapi apakah negara sendiri sudah mampu melaksanakan Pancasila secara benar? Asas Ketuhanan Yang Maha Esa ditunjukkan pemerintah dengan membiarkan mereka yang tidak mengakui ketunggalan Tuhan. Asas Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, pemerintah sangat apik melanggarnya dengan melakukan pembunuhan yang membabi buta kepada mereka yang baru diduga teroris oleh Densus 88. Asas Pesatuan Indonesia, diwujudkan dengan membiarkan gerakan-gerakan separatis menjamur di wilaya-wilayah ujung Indonesia, lihat OPM, GAM dan bahkan lepasnya Timor-Timur. Asas Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, sudahkah asas ini dijadikan alasan untuk mendengar jeritan rakyat tatkala sebuah undang-undang dibuat? Nyatanya tidak, malah banyak sekali kepentingan rakyat kecil yang tidak pernah terakomodir, hanya ‘rakyat besar’ saja yang pesanannya terpenuhi. Asas Keadilan Sosial bagi Seluruh rakyat Indonesia, seorang kak yang diduga mencuri semangka divonis 5 tahun penjara, sementara koruptor yang terbukti bersalah dihukum hanya 2-3 tahun saja. Inikah potret pelaksanaan Pancasila yang akan dijadikan sebagai asas tunggal?
Jika RUU Ormas ini diberlakukan dan pemerintah fair, maka pemerintahlah pihak pertama yang dibubarkan karena telah melanggar Pancasila meskipun statusnya bukanlah ormas, karena merupakan pelanggaran!
Arus penolakan yang terus mengalir terutama dari kalangan ormas islam sangat deras. Merekan bahkan dengan tegas menyatakan bahwa Islam sebagai satu-satunya asas tunggal  dan harga mati yang harus dimiliki setiap ormas yang bernafaskan Islam. Semata-mata bukan karena kepentingan apapun melainkan karena Islam adalah aturan hidup yang sempurna dan bukan hanya slogan semata yang bisa dilanggar siapa saja dan tidak ada apa-apanya seperti halnya Pancasila yang oleh para penyerunya (pemerintah) pun diinjak-injak.

Densus Pelanggar HAM, Saatnya Dibubarkan!



Kami mendesak pemerintah agar Densus 88 dievaluasi dan diaudit kinerja mereka (termasuk keuangan), bahkan kalau perlu dibubarkan”.
 Itulah pernyataan yang dikeluarkan oleh Din Syamsuddin saat Silaturahmi Ormas – Lembaga Islam (SOLI) ke 6, Kamis (7/3) lalu di Kantor PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta. Seruan pembubaran Detasemen Khusus 88 (Densus 88) Anti Teror hampir disuarakan oleh seluruh ormas Islam. Terlebih setelah beredarnya video kekejaman Densus 88 di Youtube berdurasi 13 menit, seruan pembubaran Densus 88 semakin keras.
Sejak 2010 lalu Komnas HAM sudah sering menerima sejumlah laporan tentang dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Densus 88. Hal ini disebabkan karena tindakan beringas Densus 88 saat beraksi dengan maksud membendung tindakan terorisme tapi kadang tak jarang berujung pada insiden salah tangkap dan salah tembak warga yang tidak bersalah.
Salah satu contohnya adalah yang terjadi pada 14 orang warga Poso pasca penembakan terhadap anggota kepolisian Desember 2012 lalu. Menurut Dewan Pembina PUSAT Advokasi Hukum dan HAM (PAHAM) Indonesia, mereka diinterogasi secara tak manusiawi, disiksa dan dihinakan selama 7 hari (20-27 Desember 2012). Kemudian  mereka dilepas begitu saja tanpa permintaan maaf dan rehabilitasi nama baik, apalagi pengantian biaya perobatan. Sadis! Maka, rasanya wajar jika desakan untuk pembubaran Densus 88 terus dilakukan oleh berbagai ormas Islam.
Mengutip pernyataan Jubir HTI, Ismail Yusanto, yang menilai berlebihan pernyataan pihak Mabes Polri karena menyebutkan “Densus tidak perlu dibubarkan dengan alasan masih diperlukan” adalah benar. Pihak Mabes Polri lah yang berlebihan, pemberantasan terhadap tindakan terorisme yang akhir-akhir ini terjadi dilakukan hanya atas dasar dugaan dan perkiraan saja. Tindakan pemberantasan terorisme yang dilakukan Densus semakin tidak jelas arahnya, bukan kepada pelaku peledakan seperti di Bali tetapi kepada warga yang tidak jarang dipandang sebagai warga sholeh.
Menurut mantan komisioner Komnas HAM, Saharuddin Daming menyatakan gaya represif yang diperagakan Densus terhadap warga yang diduga melakukan tindakan terorisme justru menjadi penyebab lahirnya lingkaran kekerasan. Orang yang tewas di tangan Densus malah dianggap warga sebagai pahlawan. Sebaliknya, sebagian warga memendam kebencian terhadap Densus. Tindakan-tindakan yang dilakukan Densus 88 sudah termasuk ke dalam pelanggaran HAM berat, sehingga mereka sangat patut diseret ke penyelidikan projustitia pelanggaran HAM berat. Termasuk pimpinan Polri secara berurutan, karena dari merekalah Densus 88 memperoleh mandat untuk melakukan operasi extra judicial killing (pembunuhan di luar jalur hukum).”
Pembubaran Densus 88 sebenarnya adalah langkah konkret pemerintah dalam memberantas tindak terorisme. Jika dibiarkan seperti itu justru malah bisa menyemai benih kebencian terhadap aparat dan bisa melahirkan aksi pembalasan atas tindakan sadis Densus. Karena operasi kontraterorisme yang selama ini dilakukan akhirnya bukan untuk mengakhiri aksi teror, tetapi malah sebagai pengalih isu, penyelimut dari setiap kasus yang menggoncang pemerintah.
Hari ini rakyat sudah mulai pintar mencerna setiap episode yang dibuat pemerintah. Isu terorisme sudah menjadi isu basi yang tidak bisa lagi digunakan untuk menutupi bau busuk pemerintahan yang katanya memperjuangkan nasib rakyat -yang pada kenyataanya malah menghancurkan nasib rakyat-. Episode perang melawan terorisme sudah harus diakhiri jika pemerintah tidak ingin kepercayaan masyarakat terhadap aparat keamanan semakin luntur dan akhirnya berbalik menjadikan aparat sebagai musuh.