Sabtu, 18 Mei 2013

Papua dan Separatisme; Ekses Pengabaian Pemerintah pada Tanah Papua


Papua kembali memanas, insiden penembakan kembali terjadi. Kali ini yang menjadi korban tewas adalah delapan anggota TNI dan empat warga sipil. Korban tewas pada Kamis (21/2) di Tingginambut Puncak Jaya dan Sinak Puncak Jaya, Papua adalah akibat dari baku tembak yang terjadi antara TNI dan warga sipil setempat.

Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq menilai peristiwa yang seakan terus berulang tersebut disinyalir sebagai bentuk kekesalan masyarakat Papua karena janji pemerintah soal Papua damai yang belum terrealisasikan yang berujung pada keinginan memisahkan diri dari Indonesia. Sehingga Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto berani mengambil kesimpulan kuat bahwa kelompok separatis bertanggung jawab atas penembakan itu.

Rasanya wajar jika kondisi di Papua terus memanas dan gerakan-gerakan separatis di masyarakat Papua terus bermunculan. Hal ini disebabkan karena posisi Papua seolah menjadi ‘anak tiri’ di negeri sendiri. Si Ibu (baca: pemerintah) terlalu sibuk dengan kehidupan jantung negara dan berbenah kota-kota metropolis sehingga akhirnya mengabaikan anak jauhnya (baca: Papua) dengan sejuta kebaikannya dan kekayaannya.

Jika kita melihat kekayaan alam yang dimiliki Papua, ternyata itu tidak berbanding lurus dengan pembangunan daerahnya. Papua harus menghadapi kenyataan karena termasuk salah satu dari deretan daerah yang miskin dan tertinggal. Berdasarkan data BPS tahun 2010, angka IPM Papua adalah 64,53 sedangkan Papua Barat 69,15. Angka tersebut masih jauh di bawah rata-rata IPM Nasional  yaitu 71,76. Ternyata kekayaan alam yang berlimpah di bumi Papua belum menjadi berkah karena dikuasai oleh pihak asing yang terus mengeruk kekayaan negeri yang memiliki pesona bawah laut terindah di dunia tersebut.

Menyelesaikan masalah Papua bukan hanya menyelesaikan masalah keamanan, tetapi juga mewujudkan keadilan, pemerataan pembangunan dan kesejahteraan. Hal inilah yang belum bisa diwujudkan oleh pemerintah Indonesia. Mahfudz Siddiq mengungkapkan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) yang dibentuk pemerintah masih tidak efektif dalam mengimplementasikan kerjanya di lapangan. Bahkan UP4B sendiri secara organisasi punya banyak kendala sehingga dinilai sudah tidak relevan lagi untuk mengatasi masalah Papua. Begitupun dengan Otonomi Khusus (Otsus) Papua, pemerintah dinilai setengah hati dalam memberikan hak otonomi ini karena banyak Peraturan Pemerintah (PP) dan aturan-aturan dibawahnya yang sampai saat ini belum dikeluarkan.

Menyelesaikan permasalahan Papua memang tidak cukup hanya dengan pembentukan badan perbaikan atau pemberian otonomi khusus. Terlebih untuk otsus, ini justru akan membuat Papua terus menerus dalam rongrongan asing karena dengan otonomi ini pemerintah daerah Papua akan dengan bebas melakukan kerja sama dengan pihak-pihak lain tanpa diketahui pemerintah.

Dibutuhkan sebuah tata aturan pemerintahan yang mampu mengelola sumber daya alam dengan sebaik-baiknya sehingga keseluruhan hasilnya bisa dirasakan rakyat. Pemerintahan yang mampu membuat hasil dari pengelolaan berbagai kekayaan alam itu ditambah sumber-sumber pemasukan lainnya dihimpun di kas negara dan didistribusikan untuk membiayai kepentingan pembangunan dan pelayanan kepada rakyat.  Sehingga kebutuhan riil mulai dari yang pokok seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan, dan infrastruktur, serta kebutuhan pelengkapnya dapat terpenuhi. Dengan itu, masalah pemerataan pembangunan dan kemajuan bagi semua daerah akan terjawab, kemajuan dan kesejahteraan secara merata dan berkeadilan dapat dirasakan. Juga akan dengan otomatis menghapuskan tindakan kekerasan dan gerakan separatis yang selama ini terus terjadi di Papua.

Hal ini hanya dapat diwujudkan jika sistem pemerintahan yang diterapkan bukanlah sistem pemerintahan yang menjamin siapa saja boleh memiliki SDA yang menguasai hajat hidup orang banyak. Bukan sistem pemerintahan yang pro kepada pihak pemilik modal (kapitalis) dan membiarkan rakyatnya kelaparan karena kekayaan alam terjual habis tak bersisa. Tetapi sebuah sistem pemerintahan yang pernah terbukti selama mampu menyejahterakan rakyat selama 13 abad dan merataka pembangunan daerah di 2/3 wilayah kekuasaanya, yaitu Khilafah Islamiyyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar