“Kami mendesak
pemerintah agar Densus 88 dievaluasi dan diaudit kinerja mereka (termasuk
keuangan), bahkan kalau perlu dibubarkan”.
Itulah
pernyataan yang dikeluarkan oleh Din Syamsuddin saat Silaturahmi Ormas –
Lembaga Islam (SOLI) ke 6, Kamis (7/3) lalu di Kantor PP Muhammadiyah, Menteng,
Jakarta. Seruan pembubaran Detasemen Khusus 88 (Densus 88) Anti Teror hampir
disuarakan oleh seluruh ormas Islam. Terlebih setelah beredarnya video
kekejaman Densus 88 di Youtube berdurasi 13 menit, seruan pembubaran Densus 88 semakin
keras.
Sejak 2010 lalu Komnas HAM sudah sering menerima
sejumlah laporan tentang dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Densus 88.
Hal ini disebabkan karena tindakan beringas Densus 88 saat beraksi dengan
maksud membendung tindakan terorisme tapi kadang tak jarang berujung pada
insiden salah tangkap dan salah tembak warga yang tidak bersalah.
Salah satu contohnya adalah yang terjadi pada 14 orang warga Poso pasca penembakan terhadap anggota kepolisian
Desember 2012 lalu. Menurut Dewan Pembina PUSAT Advokasi Hukum dan HAM (PAHAM)
Indonesia, mereka diinterogasi secara tak manusiawi, disiksa dan dihinakan selama
7 hari (20-27 Desember 2012). Kemudian
mereka dilepas begitu saja tanpa permintaan maaf dan rehabilitasi nama
baik, apalagi pengantian biaya perobatan. Sadis! Maka, rasanya wajar jika
desakan untuk pembubaran Densus 88 terus dilakukan oleh berbagai ormas Islam.
Mengutip pernyataan Jubir HTI, Ismail Yusanto, yang menilai berlebihan pernyataan
pihak Mabes Polri karena menyebutkan “Densus tidak perlu dibubarkan dengan
alasan masih diperlukan” adalah benar. Pihak Mabes Polri lah yang berlebihan, pemberantasan
terhadap tindakan terorisme yang akhir-akhir ini terjadi dilakukan hanya atas
dasar dugaan dan perkiraan saja. Tindakan pemberantasan terorisme yang
dilakukan Densus semakin tidak jelas arahnya, bukan kepada pelaku peledakan
seperti di Bali tetapi kepada warga yang tidak jarang dipandang sebagai warga
sholeh.
Menurut mantan komisioner Komnas HAM,
Saharuddin Daming menyatakan gaya represif
yang diperagakan Densus terhadap warga yang diduga melakukan tindakan terorisme
justru menjadi penyebab lahirnya lingkaran kekerasan. Orang yang tewas di
tangan Densus malah dianggap warga sebagai pahlawan. Sebaliknya, sebagian warga
memendam kebencian terhadap Densus. Tindakan-tindakan yang dilakukan Densus 88 sudah termasuk ke dalam pelanggaran
HAM berat, sehingga mereka sangat patut diseret ke penyelidikan
projustitia pelanggaran HAM berat. Termasuk pimpinan Polri secara
berurutan, karena dari merekalah Densus 88 memperoleh mandat untuk melakukan
operasi extra judicial killing (pembunuhan di luar jalur
hukum).”
Pembubaran Densus 88 sebenarnya adalah langkah
konkret pemerintah dalam memberantas tindak terorisme. Jika dibiarkan seperti
itu justru malah bisa menyemai benih kebencian terhadap aparat dan bisa
melahirkan aksi pembalasan atas tindakan sadis Densus. Karena operasi
kontraterorisme yang selama ini dilakukan akhirnya bukan untuk mengakhiri aksi
teror, tetapi malah sebagai pengalih isu, penyelimut dari setiap kasus yang
menggoncang pemerintah.
Hari ini rakyat sudah mulai pintar mencerna
setiap episode yang dibuat pemerintah. Isu terorisme sudah menjadi isu basi
yang tidak bisa lagi digunakan untuk menutupi bau busuk pemerintahan yang
katanya memperjuangkan nasib rakyat -yang pada kenyataanya malah menghancurkan
nasib rakyat-. Episode perang melawan terorisme sudah harus diakhiri jika
pemerintah tidak ingin kepercayaan masyarakat terhadap aparat keamanan semakin luntur
dan akhirnya berbalik menjadikan aparat sebagai musuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar