Senin, 10 Desember 2012

Blok Mahakam Hanya Untuk Pemilik Uang

  • Ditengah rasa bosan masyarakat dengan hiruk pikuk tayangan kehidupan perpolitikan Indonesia, kisruh soal pengelolaan migas di negeri ini kembali mencuat. Sayangnya masalah penentuan pengelolaan lapangan gas terbesar di negeri ini, lapangan migas Blok Mahakam Kalimantan Timur, luput dari perhatian masyarakat. Blok Mahakam dikuasai Total E&P Indonesie (Perancis) dan Inpex Corporation Jepang sejak 31 Maret 1967 dan berlaku selama 30 tahun hingga 31 Maret 1997 dan diperpanjang selama 20 tahun, sehingga kontrak akan berakhir pada 31 Maret 2017.

    Blok Mahakam diperkirakan masih memiliki sebanyak 11,7 % cadangan terbukti gas nasional atau 12,7 TCF -triliun kaki kubik-. Cadangan yang tersisa itu nilainya tentu sangat besar. Jika diasumsikan harga gas rata-rata US$ 15/MMBtu, maka pendapatan kotor yang bisa didapat dari cadangan ini bisa lebih dari US$ 187 milyar atau lebih dari Rp 1.700 triliun. Sementara dari hasil minyaknya, dengan produksi minyak Blok Mahakam saat ini sebesar 67.478 barel per hari, jika diasumsikan harga jual minyak mentahnya US$ 100 per barel, maka bisa didapat hasil kotor US$ 6,748 juta per hari atau lebih dari Rp 60,730 miliar per hari (Rp 22,167 triliun per tahun).

    Dengan keuntungan yang begitu besar maka sangat wajar jika dua perusahaan asing itu ingin tetap menguasai Blok Mahakam dengan memperpanjang kontrak Blok Mahakam kepada pemerintah selama 25 tahun hingga 2042 tepat lima tahun sebelum kontrak berakhir. Berbagai lobi tingkat tinggi pun dilakukan. Perdana Menteri Prancis Francois Fillon sengaja datang ke Indonesia pada Juli 2011 untuk meminta perpanjangan kontrak Mahakam. Menteri Perdagangan Luar Negeri Prancis Nicole Bricq melobi Menteri ESDM Jero Wacik saat berada di Paris, 23 Juli 2012, untuk hal yang sama. Lobi juga dilakukan oleh CEO Inpex Toshiaki Kitamura saat bertemu Wapres Boediono dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 14 September 2012.

    Walaupun hingga saat ini keputusan pemerintah masih mengambang, setidaknya gayung belum bersambut karena pemerintah Indonesia belum menyetujui lobi yang dilakukan oleh pembesar kedua negara perusahaan asing tersebut itu pun setelah masyarakat memberikan penolakan dengan membuat “Petisi Blok Mahakam untuk Rakyat” yang digalang oleh IRESS (Indonesian Resourses Studies). Namun sayangnya, sepertinya pemerintah negeri ini dibentuk hanya untuk melanggengkan kekuasaan para kapitalis, pernyataan Menteri ESDM, Wamen ESDM dan Kepala BP Migas justru cenderung untuk kembali memperpanjang kontrak kepada asing. Bahkan dengan congkaknya Wamen ESDM menyatakan Pertamina tidak akan mumpuni mengelola Blok Mahakam.

    Inilah yang terjadi ketika sebuah negeri menerapkan sistem pemerintahan yang menjamin kebebasan kepemilikan. Sumbar daya alam bebas dimiliki siapa saja yang memiliki uang sekalipun itu menjadi penopang hajat hidup orang banyak. Konstitusi hanyalah tinggal konstitusi, pasal 33 ayat ?? hanyalah tinggal sebuah tulisan tanpa makna, tidak lagi dijadikan aturan hukum tinggi yang harus ditaati dan dijalankan. Hal ini membuktikanrapuhnya hukum buatan manusia, bisa dilanggar siapa saja asal dia berkuasa (baca: berduit).

    Walaupun dijajaran pemerintah Indonesia mayoritas muslim, tapi sayangnya tidak pernah ada yang berusaha mengusulkan Islam sebagai solusi dari permasalahan migas ini. Padahal Islam memiliki pengaturan dalam berbagai aspek kehidupan termasuk masalah pengelolaan sumber daya ala. Menurut syariah Islam, tambang yang deposit atau cadangannya sangat besar adalah milik publik yang tidak boleh diserahkan kepada swasta apalagi asing. Atas dasar itu, kekayaan alam tidak boleh diserahkan kepada swasta apalagi asing. Tapi sayangnya, sekalipun ada yang mengusulkan Islam sebagai solusi tapi hal itu tidak akan terwujud karena sama saja menghancurkan mereka (kapitalis) yang berkuasa saat ini. Islam sebagai solisi hanya bisa diterapkan dengan penerapan syariah Islam secara total dalam bingkai Khilafah Rasyidah, bukan dengan sistem yang hanya mementingkan para pemilik modal saja. Demokrasi. 

Status Baru Palestina : Jebakan Barat untuk Dunia Islam

Palestina kembali meradang. Setelah mengakhiri pembantaiannya pada 2008 lalu, tepat tanggal 1 Muharram 1434 H, dimana umat di belahan dunia lain sedang bergembira menyambut tahun baru Islam, Israel kembali melakukan penyerangan dan pembantaian terhadap Palestina. Diawali dengan pembunuhan pembesar Hamas, Israel seolah berkata “tidak ada senyum untuk Palestina, cukup hanya air mata saja”


Setelah hampir menginjak penyerangan hari ke 20, rakyat Palestina seolah mendapat angin segar dari dunia karena mulai saat ini Palestina mendapat pengakuan resmi dari PBB setelah 138 negara menyetujui peningkatan status Palestina dari "entitas" menjadi "negara pengamat non-anggota" seperti halnya Vatikan. Dengan ini Palestina bisa mendapatkan pembelaan jika suatu saat nanti kembali mendapatkan penyerangan dari Israel. Harapan lainnya adalah hal tersebut dapat meredakan dan mengakhiri konflik antara Israel dan Palestina yang terjadi sejak puluhan tahun silam.

Tidak ada makan siang yang gratis. Mungkin kalimat pendek ini harus diingat oleh negeri muslim manapun ketika Barat memberikan sebuah ‘kebaikan’. Hal ini pula yang terjadi ketika voting untuk dukungan Palestina dilakukan. Inggris memiliki syarat ketika Palestina meminta Inggris untuk memberikan dukungan bagi Palestina di PBB. Inggris meminta Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas berjanji tidak akan mengejar Israel atas kejahatan perang dan akan melanjutkan pembicaraan perdamaian dengan Israel.

Perjanjian damai antara Palestina dan Israel tidaklah menguntungkan kedua belah pihak. Palestina hanya sapi perah Israel yang ketika datang dengan baik-baik kepada Palestna tidak lain hanyalah untuk mengambil tanah suci al Quds bukan yang lain. Sejak berdirinya negara Israel hingga saat ini, wilayah Palestina terus menerus berkurang hingga luasny tidak lebih besar dari Pulau Jawa.

Pengakuan dari PBB atas Palestina itu bukanlah solusi bagi Palestina, karena hal tersebut sama saja artinya juga mengakui eksistensi negara Israel atas tanah suci kaum Muslim. Dan PBB bukanlah pelindung Palestina karena sesungguhnya mereka yang ada dibalik PBB adalah negara-negara yang menolak Palestina, Amerika-Israel dan sekutu-sekutunya yang justru menjadi dalang dibalik pembantaian muslim di Palestina.

Inilah cara Barat memalingkan kaum muslim dari meraih kemenanngan yang sebenarnya. Ini pula lah cara Barat untuk semakin menekan riak-riak penegakan syariat Islam yang kini sedang menggaung di berbagai belahan negeri kaum muslim. Barat dan sekutunya takut jika mereka harus kembali berhadapan dengan sosok seperti  Sultan Abdul Hamid II, pemimpin Kekhilafahan Utsmani yang dengan tegas menyatakan "Aku tidak akan melepaskan walaupun segenggam tanah ini (Palestina), Karena ia bukan miliku. Tanah itu adalah hak umat. Umat ini telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka..Yahudi silahkahkan menyimpan harta mereka. Jika Khilafah Islam dimusnahkan pada suatu hari, maka mereka boleh mengambil tanpa membayar harganya. Akan tetapi, sementara Aku hidup, Aku lebih rela menusukan ke tubuhku daripada melihat tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islam. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selama kami masih hidup!"

Seperti itulah yang seharusnya dilakukan dan diteriakkan oleh pemimpin negeri kaum muslim dalam membebaskan Palestina, bukan berdamai dengan makhluk yang Allah pun melaknatnya. Sayangnya sosok seperti Sultan Abdul Hamid II memang tidak akan pernah kita temukan di zaman yang semuanya menjadikan Barat sebagai kiblat. Pemimpin negeri-negeri muslim saat ini tidak lebih hanya sebagai boneka yang digunakan Barat untuk memuluskan rencana-rencana busuknya. Sosok Sultan Abdul Hamid II hanya akan kita dapatkan ketika kaum muslimin kembali memiliki sebuah institusi kokoh yang akan menjaga setiap jengkal tanah kaum muslim dari rongrongan kafir Barat.

dimuat di  http://www.al-khilafah.org/2012/12/status-baru-palestina-jebakan-barat.html

Jumat, 19 Oktober 2012

KPK-Polri, Siapa yang Salah?

Korupsi, sepertinya akan menjadi sebuah kata yang tidak akan pernah lekang dimakan zaman untuk negeri zamrud khatulistiwa ini, dan seolah tidak ada matinya. Kasus korupsi di negeri ini nampaknya sudah mendarah daging bukan hanya di jajaran kelas teri, tapi juga di kalangan kelas kakap, pejabat pemerintah yang katanya memperjuangkan nasib rakyat.

Sungguh hebat memang, bukannya menurun, kenyataan yang ada justru memperlihatkan angka korupsi semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Belum selesai masalah korupsi, kali ini pihak yang harusnya memberantas korupsi justru terjebak pada kasus korupsi pengadaan simulator mengemudi Polri.

Seolah bukan sebuah masalah yang pelik, sikap pemerintah terkesan lamban dalam menangani kasus korupsi yang terus terjadi, termasuk dalam kasus pengadaan simulator mengemudi ini. Perseteruan KPK dan Polri berakhir setelah Presiden SBY akhirnya membuat keputusan tegas dengan menyerahkan sepenuhnya penanganan kasus hukum tersebut kepada KPK.

Drama "pertarungan" KPK vs Polri ini cukup menyita perhatian masyarakat yang lebih membela KPK sebagai "cicak" yang tertindas oleh "buaya". Padahal yang perlu sangat dicermati adalah penanganan pemerintah terhadap korupsi yang telah berurat akar ini. Mencoba melihat pangkal dan permasalahan korupsi adalah hal terbaik untuk menuntaskan kasus yang banyak menjerat para kerah putih itu.

Tidak hanya faktor individu yang menjadi penyebab menjamurnya kasus korupsi di negeri ini, tetapi banyak faktor lain yang menumbuhsuburkan kejahatan perampokan uang rakyat tersebut. Di antaranya adalah tidak adanya hukum yang memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan korupsi ini. Hal ini terlihat salah satunya terlihat dari lamanya hukuman bagi para koruptor yang hanya sekira dua tahun. Bahkan jika diberi remisi, hukuman mereka hanya tinggal sembilan bulan.

Usulan berulang-ulang disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD yang mendorong agar hukuman mati bagi koruptor benar-benar dilaksanakan ternyata ditanggapi santai oleh pemerintah.  Hal ini terlihat juga dari sikap abai pemerintah atas desakan yang sering dikeluarkan ketua MK dalam berbagai kesempatan agar Undang-Undang (UU) Pembuktian Terbalik segera disahkan. Padahal UU tersebut sudah diajukan sejak era Presiden Gus Dur, tapi nampaknya DPR seperti enggan membahasnya.

Sebenarnya mahalnya biaya pesta demokrasilah yang membuat kejahatan yang dilakukan oleh kerah putih ini semakin menggila. Pasalnya, proses politik demokrasi, khususnya proses Pemilu dan Pilkada, memang tidak membutuhkan dana yang sedikit. Bisa kita bayangkan besarnya rupiah yang harus dikeluarkan untuk maju menjadi caleg dibutuhkan, bukan hanya puluhan dan ratusan juta bahkan miliaran rupiah. Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan bahwa biaya minimal yang dikeluarkan seorang calon sekira Rp20 miliar, akan tetapi untuk daerah yang kaya, biayanya bisa sampai Rp100-150 miliar. Jika ditambah dengan ongkos untuk berperkara di MK, tentunya biaya yang dikeluarkan akan semakin tinggi. Sedangkan gaji yang diterima setelah mendapatkan kekuasaan tak seberapa. Maka tidak salah jika mereka menjadikan korupsi sebagai satu-satunya cara cepat yang bisa dilakukan oleh para penguasa dan wakil rakyat untuk mengembalikan biaya politik yang mereka keluarkan saat pemilu.

Tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa untuk dua tahun pertama pejabat sibuk memutar otak bagaimana mengembalikan modal kampanye saat pemilu lalu dan tiga tahun berikutnya berpikir keras bagaimana caranya agar di pemilihan umum periode berikutnya masih bisa bersaing untuk memperebutkan kursi panas anggota dewan.

Sistem demokrasilah yang salah, bukan KPK ataupun Polri. Sistem demokrasilah yang melahirkan para pemimpin bermental korup, zalim, dan rakus. Demokrasi jugalah yang telah membiasakan para penguasanya untuk gemar berbuat curang, menerima suap, korupsi, dan melakukan kolusi yang merugikan rakyat. Sistem pemerintahan ini sesungguhnya penyebab kerusakan penguasa dan pemerintahan yang sekarang ada bukanlah lagi sekadar disebabkan bejatnya moral para pemimpin, tapi karena kebusukan sistemnya.

Tidakkah seharusnya kita sekarang mulai cerdas melihat demokrasi yang katanya sistem pemerintahan terbaik ternyata justru menjadi penyebab menjamurnya korupsi di negari ini serta mencari sebuah sistem tata kenegaraan baru yang mampu memberantas korupsi secara tuntas? Mencari sebuah sistem yang mampu melahirkan pejabat yang amanah, yang benar-benar mengurusi kepentingan rakyat bukan hanya kepentingan dirinya sendiri. Sistem yang akan membuat setiap individu di dalamnya takut untuk melakukan kejahatan dan sistem yang mampu membuat masyarakat cerdas dan mampu menjadi kontrol pemerintah  saat menjalankan tugasnya sebagai pengurus rakyat. Tentu bukan kembali kepada sosialis yang sudah runtuh tapi kepada sistem Islam yang mempunyai aturan yang paripurna karena berasal dari Yang Maha Sempurna, Allah SWT.

Jumat, 08 Juni 2012

Menikah hanya karena cinta?
yang berawal hanya dari rasa suka?
Tidak ada yang bisa memungkiri itu,
juga tidak bisa menyalahkan,
karena memang itu tak sepenuhnya salah.
Takut Allah tida ridho, itu saja.

Hanya karena memilih bukan karena melihat agamanya
tetapi hanya menuruti kata hati saja
bukan tidak membolehkan
tapi apakah hidup ini hanya untuk membahagiakan diri sendiri saja?

Menikah tidak sekedar menyalurkan gharizah,
tapi juga menata dakwah,
dan meniti jalannya yang tidak mudah.
Jika menikah tanpa ada eskalasi dakwah,
sebaiknya kubur saja cinta pada manusia itu.

Rabu, 09 Mei 2012

Visi Baru Pendidikan Indonesia


Potret generasi Indonesia saat ini sungguh mengenaskan. Meskipun Indonesia sudah memasuki hari Pendidikan Nasional 2 Mei untuk yang ke sekian kalinya ternyata kualitas generasi bangsa ini justru semakin terpuruk. Fakta maraknya tawuran antar pelajar dan demonstrasi mahasiswa mahasiswa yang didominasi oleh tindak kekerasan, kecurangan saat UN, dan rendahnya akhlak generasi yang ditunjukkan dengan maraknya seks bebas tidak bisa kita pungkiri.

Melihat fakta rusaknya generasi saat ini, tidak salah jika banyak pihak yang mengandalkan sektor pendidikan untuk menyelesaikan masalah generasi ini, alasannya adalah karena pendidikan lah yang mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi pada generasi saat ini dan alasan lainnya adalah pendidikan merupakan pilar peradaban yang darinya lah generasi yang berkualitas mampu dilahirkan.

Tidak salah jika pendapat tersebut muncul, akan tetapi kita harus ketahui bersama bahwa suatu sistem pendidikan sangat dipengaruhi oleh warna kebijakan dan perangkat sistem sebuah negara. Sistem pendidikan tidak akan pernah lepas dari aturan perundang-undangan yang lahir dari sistem politik serta kualitasnya tidak akan pernah terlepas dari kemampuan pembiayaan pendidikan yang ditentukan oleh negara tersebut. Dengan kata lain sistem pendidikan tidak akan pernah bisa lepas dari  sistem politik dan ekonomi dari sebuah negara.

Potret pendidikan di Indonesia saat ini tentunya tidak jauh berbeda dengan sistem politik ekonomi yang diterapkan. Pandangan politik ekonomi negeri ini yang neoliberal membuat sikap pemerintah mau tidak mau harus mengikuti arus global dan sistem pendidikan nasional yang miskin visi hanya mampu mengarahkan penciptaan kapasitas peserta didik untuk memenuhi kebutuhan pasar atau industri. Sehingga kita tidak bisa menutup mata jika hari ini kita lihat potret generasi yang dihasilkan oleh sistem pendidikan yang berada di naungan sistem ekonomi kapitalis ini sangat jauh dari kata cemerlang.

Momentum besar di Mei ini, hari Pendidikan Nasional -dan Kebangkitan Nasional 20 Mei nanti- seharusnya bisa dijadikan momen yang refleksi bagi Indonesia untuk menemukan cara bagaimana memperbaiki kualitas generasi bangsa ini. Ditambah lagi Indonesia sebagai sebuah negara dengan berbagai potensi yang dimilikinya seharusnya mampu memiliki sendiri sistem pendidikan unik yang mampu melahirkan generasi cemerlang sehingga mampu membuat Indonesia menjadi sebuah negara yang bisa dipandang dengan oleh negara lain, menjadi negara maju yang mampu bersaing dengan negara-negara maju yang ada. Tidak harus dengan pandangan politik ekonomi kebanyakan negara di dunia saat ini tetapi Indonesia justru harus memiliki visi politik ekonomi berbeda yang mampu melahirkan generasi cemerlang yang tidak hanya memiliki keahlian saja tetapi juga memiliki kepribadian istimewa yang mampu menunjukkan nilai-nilai kebenaran.

Indonesia harus memiliki sebuah visi politik ekonomi baru yang harus mampu membuat generasi bangsa ini jauh dari kemunduran akibat virus pragmatisme, mental inferior, gaya hidup konsumtif, dan konsumtif. Sebuah visi politik ekonomi yang mampu menyajikan rancangan perubahan politik ekonomi secara menyeluruh sehingga mampu menghadirkan strategi pendidikan cemerlang sehingga mampu melahirkan generasi cemerlang seperti Muadz bin Jabbal yang dinobatkan sebagai hakim agung diusia yang beli, 18 tahun. Sebuah visi politik baru yang akan membawa negaranya menjadi negara yang besar, kuat, dan terdepan. Sebuah visi politik ekonomi yang memiliki paradigma baru yang berbeda dengan liberalisme saat ini, sebuah visi politik ekonomi yang terlahir dari asas yang tidak menegasikan agama dari kehidupan atau sekulerisme yaitu mengambil asas aturan Tuhan sebagai aturan kehidupan. Islam.

dimuat
di http://kampus.okezone.com/read/2012/05/09/367/626720/refleksi-hari-pendidikan-nasional-indonesia

Sabtu, 05 Mei 2012

Pit Stop


I need 'pit stop' for a while.
Although I'm ashamed to ask this.

Because ...
Rasulullah said to Khadijah after Jibril met him to gave revelation of You, 
"There is no time for break after today, Khadijah".

But, I still ordinary person who has love. 
I need a time for gather people that I loved. 

God,
strong me to face this way until the time came,
when I gather with them.
With people that I loved.
Only for a while.



 Remind me always with Your verse in the Qur'an that :


"If your fathers, your sons, your brothers, your wives, your kindred, the wealth that you have gained, the commerce in which you fear a decline, and the dwellings in which you delight are dearer to you than Allâh and His Messenger, and striving hard and fighting in His Cause, then wait until Allâh brings about His Decision (torment). And Allâh guides not the people who are Al-Fâsiqûn (the rebellious, disobedient to Allâh) (At-Taubah [9:24])"


O Allah,
I ask You in my dua.
Gathered me with them,
not only in this world but also next time, in the hereafter.
Amiin ...

Senin, 16 April 2012

Pengesahan RUU KKG, Sejuta Masalah Baru Bagi Semua Pihak


Feminisme adalah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Feminisme lahir karena adanya bias gender yang terjadi sejak masa dark ages di Eropa pada abad 5 – 15 M. Pada saat itu negara menganggap gender wanita sebagai aib, penyebab Adam diusir dari surga, container of satan. Dengan adanya mindset tersebut maka mulailah gender wanita diperlakukan berbeda, wanita dianggap sebagai warga kelas dua, di bawah laki-laki.

Kondisi kaum perempuan bisa dikatakan tidak jauh berbesa pada saat ini, berada dalam kenyataan buruk seperti keterkungkungan, kemiskinan, ketertinggalan, ketertindasan dan sebagainya semakin membuat jargon kesetaraan gender semakin lantang. Para pengusung ide gender equality atau kesetaraan gender menyatakan bahwa hal tersebut merupakan bentuk kepedulian terhadap nasib perempuan. Mencoba mengangkat nasib perempuan yang tertindas yang mereka anggap disebabkan karena adanya ketidaksetaraan (disparitas) gender dianggap sangat merugikan perempuan.

Perkembangan ide kesetaraan gender di Indonesia berkembang cukup pesat. Awalnya hanya sebuah tuntutan yang ingin mendapatkan kesamaan dalam mengakses pendidikan, setelah sukses para pengusung ide ini melanjutkan perjuangan ke ranah dunia politik. Perjuangan mereka kembali membuahkan hasil, menuai sukses dengan disahkannya Undang-Undang yang mempersyaratkan keterwakilan perempuan minimal 30% sebagai anggota dewan. Kini kaum feminis kembali berjuang untuk mewujudkan ambisinya berperan di ranah publik dan merombak struktur sosial melalui pengesahan RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender.

Saat ini di DPR sedang kencang dibahas RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) yang diusulkan pemerintah. Pihak yang mengusung pembahasan RUU tersebut menaruh harapan setelah disahkannya RUU tersebut perempuan bisa sejajar dengan laki-laki dalam berbagai hal. Tetapi lagi-lagi masyarakat tidak senada dengan pemerintah. Sejak awal, RUU KKG ini banyak sekali menuai protes, penentangan, dan penolakan dari berbagai elemen masyarakat termasuk ormas-ormas Islam. Dikatakan bahwa RUU yang dikeluarkan pemerintah ini diusung kaum feminis liberal dan dinilai bertentangan dengan Islam, berbahaya, dan merusak bagi masyarakat.

Jika kita cermati bersama, masalah yang dialami oleh perempuan yang terkait dengan kemiskinan, ketertinggalan, dan lain sebagainya bukanlah disebabkan karena masalah gender karena hal ini juga terlihat pada laki-laki. Ketika berbicara masalah kemiskinan, ketertinggalan, dan lain sebagainya kita tidak lagi berbicara tentang gender, tetapi sudah menyangkut masalah pendidikan, ekonomi, politik dan ideologi sehingga gagasan kesetaraan gender untuk menyelesaikan permasalahan yang sebenarnya juga menimpa kaum laki-laki tidak bisa dijadikan solusi.

Akar permasalahan kemiskinan yang menimpa kaum wanita -dan juga pria- ini lebih disebabkan oleh adanya kesalahan negara dalam mengatur urusan rakyat. Pandangan ekonomi-politik yang kapitalistik di negeri ini telah menjadikan peran negara berubah. Dengan adanya pandangan tersebut, peran negara secara langsung di bidang sosial dan ekonomi harus diupayakan seminimal mungkin dan bahkan diharapkan negara hanya berperan dalam fungsi pengawasan dan penegakan hukum semata.

Dalam pandangan kapitalis, penanggulangan kemiskinan merupakan tanggung jawab si miskin itu sendiri, kemiskinan bukan merupakan beban bagi umat, negara, atau kaum hartawan. Sehingga dengan pandangan ekonomi-politik kapitalistik yang dimiliki Indonesia jelas telah menjadikan negara kehilangan fungsi utamanya sebagai pemelihara urusan rakyat. Negara juga akan kehilangan kemampuannya dalam menjalankan fungsi pemelihara urusan rakyat. Akhirnya, rakyat miskin yang termasuk di dalamnya kaum wanita dibiarkan berusaha sendiri memperbaiki hidupnya yang berada dalam kemiskinan dan ketertindasan.

Sehingga sekalipun RUU KKG ini disahkan, tetap saja tidak memberikan solusi bagi masalah perempuan tetapi justru malah akan memberikan masalah bagi pihak laki-laki, anak-anak dan masyarakat. RUU KKG ini malah akan memberikan banyak masalah baru dan banyaknya korban baru, multiple victimization. Bagi laki-laki misalnya, dengan banyaknya perempuan bekerja di ranah publik ini akan menjadikan peluang bagi mereka yang merupakan pencari nafkah bagi keluarga akan semakin sempit karena persaingan dunia kerja akan semakin berat. Bagi anak-anak, mereka akan semakin tidak terurus karena banyak ditinggalkan ibunya bekerja. Akibatnya anak kesepian, tidak bahagia, sehingga terkadang melakukan kompensasi yang salah, dengan mengkonsumsi obat-obatan terlarang, pergaulan bebas, konsumen situs porno di internet, pelaku kejahatan dan sebagainya.

Bagi umat Islam Adian Husaini menyatakan, jika RUU KKG ini disahkan maka akan menjadi Undang-undang yang memiliki kekuatan hukum yang tetap, sehingga akan menimbulkan penindasan yang sangat kejam kepada umat Muslim – atau agama lain – yang menjalankan konsep agamanya, yang kebetulan berbeda dengan konsep Kesetaraan Gender. Misalnya, jika orang Muslim yang menerapkan hukum waris Islam; membagi harta waris dengan pola 2:1 untuk laki-laki dan perempuan atau jika mereka menganggap tidak adil jika laki-laki dalam shalatnya harus ditempatkan di shaf depan dan hukum-hukum lainnya dalam Islam, maka bagi kaum Muslim akan bisa dijatuhi hukuman pidana karena dipandang melakukan diskriminasi gender.

Pengesahan RUU KKG ini bukanlah penyelesaian dari permasalahan yang menimpa banyak perempuan di Indonesia tetapi justru akan menimbulkan sejuta masalah baru bagi semua pihak yang memiliki konsep berbeda dengan ide kesetaraan gender. Perempuan membutuhkan sebuah aturan paripurna yang mampu menyelesaikan permasalahannya dan juga laki-laki serta manusia secara umum. Sebuah tata aturan yang berasal dari yang mengetahui kelemahan dan keterbatasan manusia, yaitu aturan yang berasal dari Allah SWT, Islam.

dimuat
di http://www.al-khilafah.org/2012/04/pengesahan-ruu-kkg-sejuta-masalah-baru.html

Rabu, 11 April 2012

Menolak RUU PT: Menolak Liberalisme


Suatu sistem pendidikan sangat dipengaruhi oleh warna kebijakan dan perangkat sistem negaranya. Sistem politik dan ekonomi punya pengaruh signifikan terhadap visi dan paradigma negara dalam mendesain sistem pendidikannya. Sistem politik pemerintahan yang fungsinya memimpin dan melindungi rakyat, dan sistem ekonomi yang fungsinya mengelola sumber daya ekonomi untuk menyejahterakan rakyat tentu akan menentukan bagaimana sebuah sistem pendidikan itu didesain dan dijalankan.

Begitu pula yang terjadi di negeri ini, sistem politik ekonomi yang diterapkan jelas sangat mempengaruhi sistem pendidikannya. Pandangan politik ekonomi negeri ini yang neoliberal membuat sikap pemerintah mau tidak mau harus mengikuti arus global. Dan sistem pendidikan nasional yang miskin visi hanya mampu mengarahkan penciptaan kapasitas peserta didik untuk memenuhi kebutuhan pasar atau industri. Pendidikan yang berorientasi kepada kebutuhan pasar bebas berarti telah menjadikan pendidikan layaknya komoditas yang diperdagangkan. Pendidikan kemudian tunduk pada hukum pasar dan logika bisnis yang bertumpu pada pola pikir materialistik, kapitalistik, dan pragmatis. Berbagai komponen pendidikan: visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, manajemen pengelolaan, dan berbagai komponen pendidikan lainnnya harus tunduk pada hukum pasar dan logika bisnis. Selain itu, pendidikan yang dijual tersebut harus mendapatkan pengakuan dari lembaga internasional yang kredibel, melalui sertifikat akreditasi yang diakui (recognized).

Sistem pendidikan pragmatis berorientasi pasar sebenarnya berkembang bukanlah tanpa sengaja. Awalnya digagas di Amerika Serikat yang menemukan hasil penelitian pada tahun 60-an terkait investasi di bidang pendidikan. Penelitian tersebut menunjukkan, investasi di bidang pendidikan jauh lebih menguntungkan daripada investasi di bidang saham. Setelah itu, Amerika Serikat membiayai penelitian terapan di bidang pendidikan tidak kurang dari USD6 milia. Hasilnya, Amerika Serikat memiliki sistem pendidikan pragmatis yang berorientasi pasar. Standarisasi terhadap semua aspek pendidikan mereka lakukan, dan hasilnya diakui dunia karena lulusannya sangat unggul dan mampu bersaing merebut peluang. Untuk itu, sejak tahun 70-an hingga sekarang, Amerika Serikat menjadi kiblat pendidikan di dunia.

Pada tahap selanjutnya, model pendidikan Amerika ini diadopsi oleh seluruh dunia, hingga timbul kesepakatan dari seluruh negara di dunia, bahwa pendidikan adalah salah satu komoditas yang diperdagangkan. Kesepakatan ini dimotori oleh WTO melalui General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya.

Dengan ditandatanganinya GATS, walhasil sistem pendidikan pragmatis yang pro-pasar semakin banyak diadopsi oleh negara-negara di dunia. Agar GATS berkiprah di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia, maka intervensi pemerintah dalam sektor jasa harus dihilangkan. Dengan penduduk lebih dari 210 juta jiwa, tingkat partisipasi pendidikan tinggi sekira 14 persen dari usia 19-24 tahun, minimnya visi dan perhatian pemerintah Indonesia terhadap bidang pendidikan, serta rendahnya mutu pendidikan, menjadikan Indonesia sebagai incaran negara-negara eksportir jasa pendidikan dan pelatihan.

Enam negara yang telah meminta Indonesia untuk membuka sektor jasa pendidikan adalah Australia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, Korea dan Selandia Baru. Sub sektor jasa yang ingin dimasuki adalah pendidikan tinggi, pendidikan sepanjang hayat, pendidikan profesi, dan vokasi. Jelas, modus kerja sama seperti ini akan lebih menguntungkan negara yang memiliki keunggulan ekonomi dan teknologi. Sebuah kerja sama pendidikan jika dilaksanakan dalam kondisi interdependensi simetris antarnegara memang dapat menguntungkan kedua negara untuk mengembangkan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan (knowledge based economy). Tapi dalam kondisi interdependensi a-simetris dan lebih-lebih bila penyediaan jasa pendidikan tinggi lebih dilandasi oleh motif for-profit semata, maka negara berkembang yang jelas akan menjadi korban dan dikorbankan.

Saat ini, pemerintah Indonesia sedang ‘asyik’ mempersiapkan pengesahan RUU PT yang merupakan pengganti UU BHP yang dibatalkan MK April 2010. Pembatalan tersebut dikarenakan UU BHP dinilai mengandung nuansa neoliberal yang bisa menghilangkan kewajiban pemerintah sebagai penanggungjawab upaya mencerdaskan bangsa melalui penyediaan fasilitas pendidikan berkualitas dan murah. Jika kita lihat dengan seksama, permasalahan yang ada dalam RUU PT tersebut tidak hanya pada pasalnya. Lebih dari itu, asas yang menjadi landasan dibuatnya RUU PT ini pun bermasalah. Nuansa liberalisme tidak bisa dilepaskan dari pembahasan RUU ini.

RUU PT yang sedang digodok oleh pemerintah saat ini sebenarnya tidak akan jauh berbeda dengan UU BHP yang dibatalkan MK dua tahun lalu, masih berbau liberalisme. Sebagai anggota World Trade Organization (WTO) Indonesia tidak bisa mengelak dari seluruh kesepakatan yang dibuat dan ditandatangani. Dalam kasus ini, sesuai UU No. 7 tahun 1994 tentang pengesahan Agreement on Establishing the World Trade Organization, Indonesia pun tidak bisa mengelak dari liberalisasi pendidikan. Fakta ini menunjukkan bahwa pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia masuk dalam paradigma baru, yaitu mengubah peran dan fungsi pemerintah yang semula sebagai penanggung jawab pendidikan tinggi hanya sebagai fasilitator.

Satu yang paling terlihat dari upaya liberalisasi itu sendiri tercermin dari Bagian Keempat tentang Pengelolaan Perguruan Tinggi tentang adanya prinsip otonomi terhadap pengelolaan pendidikan tinggi yang bermakna kemandirian PT untuk mengelola sendiri lembaganya. Kemandirian ini tidak bisa secara mutlak dianggap sebagai nilai positif, karena bagaimanapun juga sebuah PT yang berdiri di Indonesia harus mendapat kawalan pemerintah dalam penyelenggaraan proses pendidikan didalamnya, karena menyangkut masa depan generasi bangsa ini. Prinsip otonomi yang menjadi nafas pada banyak pasal RUU PT akan mengantarkan PT pada proses komersialisasi yang tidak dapat dihindari. Aset-aset PT akan dijadikan sebagai lahan bisnis untuk mencari uang. Dan ketika PT tidak memiliki aset dan kesulitan mencari cara lain untuk memperoleh dana maka kemungkinan besar yang akan dilakukan PT untuk menutupi biaya operasional adalah menaikkan biaya pendidikan dari masyarakat. Pada titik ini, PT hanya akan bisa diakses oleh mereka yang punya uang. Lebih parah lagi, jika PT yang berbentuk badan hukum ini pada perjalanannya mengalami bangkrut/pailit, maka ini akan menjadi bencana bagi para mahasiswa.

Prinsip transparansi seharusnya tidak terbatas pada masalah keuangan atau laporan program kerja, tapi juga pengembangan riset. Masyarakat berhak tahu riset apa yang dikembangkan PT sehingga masyarakat bisa memanfaatkan hasil riset tersebut, tidak hanya kalangan industri tertentu yang pada akhirnya membuat hasil riset tidak bisa dimanfaatkan secara optimal bagi kemaslahatan masyarakat karena profit oriented yang dilakukan oleh industri tertentu. Prinsip akuntabilitas sama halnya dengan prinsip transparansi, pertanggungjawaban PT juga harus melibatkan masyarakat secara umum yang tidak terbatas pada sedikit orang dari para pemangku kepentingan PT saja. Prinsip penjaminan mutu harus dibuat berdasarkan blueprint PT yang dibuat pemerintah untuk menjadikan bangsa ini unggul sesuai dengan asas pendidikan yang seharusnya.

Ini dari segi pengelolaan, masih banyak lagi pasal bermasalah lainnya yang menjadikan kita harus menolak RUU PT ini. Liberalisasi pendidikan tinggi dalam era globalisasi memang tidak bisa terelakkan lagi. Perdagangan bebas yang semakin gencar mengantarkan pendidikan menjadi salah satu sektor jasa yang turut diperdagangkan secara bebas merupakan dampak dari globalisasi ini. Globalisasi merupakan interdependensi yang tidak simetris antarnegara, karena itu interdependensi antarnegara yang seperti itu akan lebih menguntungkan negara yang memiliki keunggulan ekonomi dan teknologi. Sementara bagi negara dunia ketiga seperti Indonesia yang secara ekonomi dan teknologinya msih bergantung pada negara maju, globalisasi berarti kolonialisasi. Salah satu manifestasi globalisasi pendidikan tinggi adalah berkembangnya pasar pendidikan tinggi yang tanpa batas.

Indonesia sebagai sebuah negara harusnya mampu memberikan sikap terhadap arus globalisasi. Indonesia sebenarnya bukan tidak mampu melepaskan diri dari cengkraman liberalisme, hanya saja Indonesia tidak memiliki pandangan atau ideologi yang berbeda dengan liberalisme sehingga mau tidak mau Indonesia harus tetap ikut arus dengan perputaran globalisasi dunia dan bagi Indonesia ini artinya adalah kolonialisasi. Penjajahan.

Indonesia harus memiliki sebuah world view baru yang bisa membuatnya terlepas dari liberalisme ini sehingga mampu mewujudkan apa yang menjadi cita-citanya, mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan masihnya Indonesia berkutat dengan liberalisme ini, pemerintah tidak akan pernah bisa membuat pendidikan menjadi terjangkau tetapi justru akan terus membuat pendidikan semakin mahal karena harus menyediakan ‘lapak’ bagi asing untuk membuka tempat pendidikan tinggi. Butuh sebuah paradigma baru yang berbeda dengan liberalisme-yang terlahir dari asas menegasikan agama dari kehidupan atau sekulerisme- yaitu asas yang mengambil aturan Tuhan sebagai aturan kehidupan. Islam.

dimuat di http://kampus.okezone.com/read/2012/04/09/367/607962/menolak-ruu-pt-menolak-liberalisme

Sabtu, 31 Maret 2012

Mencari Solusi Korupsi untuk Negeri Demokrasi

       Seolah tidak ada matinya, kasus korupsi di negeri ini nampaknya sudah menjadi budaya dan bahkan mendarah daging di kalangan pemerintah yang katanya memperjuangkan nasib rakyat. Setelah sempat teralihkan oleh isu kenaikan harga BBM yang akhirnya ditunda hingga 6 bulan ke depan, ternyata kasus korupsi yang menyeret Bendahara Partai Demokrat, Nazarudin, belum juga selesai. Setelah sempat sakit beberapa hari, Nazarudin kini kembali ‘bernyanyi’ melantunkan deretan ‘tembang kronologis dan aktor-aktor’ dibalik kasus korupsi Wisma Atlet SEA Games Palembang yang sudah digarap sejak Maret 2011 lalu.
      Sungguh hebat memang, bukannya menurun, kenyataan yang ada justru memperlihatkan angka korupsi semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hasil analisis yang ditemukan PPATK bisa menjadi bukti betapa banyaknya korupsi yang terjadi. Pada Januari 2012  saja PPATK mendapatkan hasil pelaporan dari 334 penyedia jasa keuangan bahwa sebanyak 1890 laporan transaksi keuangan yang mencurigakan.
      Dan seolah bukan sebuah masalah yang pelik, sikap pemerintah terkesan tidak serius dalam menangani kasus korupsi yang terus terjadi, hal ini terlihat salah satunya terlihat dari hukuman bagi para koruptor yang tidak sedikitpun memberikan efek jera. Hanya sekitar dua tahun rata-rata vonis yang diberikan kepada para koruptor bahkan jika diberi remisi, hukuman mereka hanya tinggal sembilan bulan saja. Padahal ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD berulang-ulang mendorong agar hukuman mati bagi koruptor benar-benar dilaksanakan. Selain itu sikap abai juga ditunjukkan oleh pemerintah atas desakan yang sering dikeluarkan ketua MK dalam berbagai kesempatan agar Undang-Undang (UU) Pembuktian Terbalik segera disahkan. Padahal UU tersebut sudah diajukan sejak era Presiden Gus Dur tapi nampaknya DPR seperti enggan membahasnya.
            Mahalnya biaya pesta demokrasi membuat kejahatan yang dilakukan oleh kerah putih ini semakin menggila. Pasalnya, proses politik demokrasi, khususnya proses Pemilu dan Pilkada, memang membutuhkan dana besar. Untuk maju menjadi caleg dibutuhkan puluhan, ratusan juta bahkan miliaran rupiah. Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan bahwa biaya minimal yang dikeluarkan seorang calon sekitar Rp 20 miliar, akan tetapi untuk daerah yang kaya, biayanya bisa sampai Rp 100 hingga Rp 150 miliar. Kalau ditambah dengan ongkos untuk berperkara di MK, berapa lagi yang harus dicari. Sedangkan gaji yang diterima setelah mendapatkan kekuasaan tak seberapa maka tidak salah jika mereka menjadikan korupsi sebagai satu-satunya cara cepat yang bisa dilakukan oleh para penguasa dan wakil rakyat untuk mengembalikan biaya politik yang mereka keluarkan saat pemilu.
            Tahun lalu sempat keluar pernyataan dari Ketua DPR RI Marzuki Ali bahwa KPK harus dibubarkan karena dinilai tidak mampu memberantas korupsi. Tapi benarkah ini hanya gara-gara kinerja KPK saja? Pasalnya berbagai langkah antikorupsi telah dilakukan, mulai dari membuat undang-undang hingga membentuk badan khusus yang bertugas menangani korupsi ternyata tidak mampu menurunkan 'prestasi' Indonesia sebagai negara terkorup versi Political and Economic Risk Consultancy tahun 2010 lalu. Ataukah menggilanya kasus korupsi ini justru karena demokrasi yang prosesnya membutuhkan biaya yang sangat besar sehingga ketika para wakil rakyat dan penguasa itu menjabat mereka berlomba bagaimana caranya mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan, bukan fokus mengurusi rakyat??
            Jawabannya jelas bukan KPK yang layak dibubarkan, tetapi justru sistem politik dan pemerintahan demokrasi itu sendiri. Demokrasi melahirkan para pemimpin bermental korup, zalim, dan rakus. Demokrasi jugalah yang telah membiasakan para penguasanya untuk gemar berbuat curang, menerima suap, korupsi, dan melakukan kolusi yang merugikan rakyat. Sistem pemerintahan ini sesungguhnya penyebab kerusakan penguasa dan pemerintahan yang sekarang ada bukanlah lagi sekadar disebabkan bejatnya moral para pemimpin, tapi karena kebusukan sistemnya.
Tidakkah seharusnya kita sekarang mulai cerdas melihat demokrasi yang ternyata justru menjadi penyebab menjamurnya korupsi di negari ini serta mencari sebuah sistem tata kenegaraan baru yang mampu memberantas korupsi secara tuntas?? Mencari sebuah sistem yang mampu melahirkan pejabat yang amanah, yang benar-benar mengurusi kepentingan rakyat bukan hanya kepentingan dirinya sendiri. Sistem yang akan membuat setiap individu didalamnya takut untuk melakukan kejahatan dan sistem yang mampu membuat masyarakat cerdas dan mampu menjadi kontrol pemerintah  saat menjalankan tugasnya sebagai pengurus rakyat. Tentu bukan kembali kepada sosialis yang sudah runtuh tapi kepada sistem Islam yang mempunyai aturan yang paripurna karena berasal dari Yang Maha Sempurna, Allah SWT.

Kamis, 29 Maret 2012

Mengembalikan Peran Partai Politik


Partai politik adalah organisasi politik yang menjalani menjalani tertentu atau dibentuk dengan tujuan khusus (id.wikipedia.org). Sementara dalam Islam istilah partai politik (Hizbun Siyasiy) berasal dari kata Hizb dan Siyasah. Imam al-Qurthubiy dalam tafsirnya memaknai kata hizb dalam surat al-Maidah ayat 56, Al-Mukminun ayat, 53 dan Mujadilah ayat 19 sebagai penolong, sahabat, kelompok (fariq), millah, kumpulan orang (rohth). Sementara itu, dalam kamus Al-Muhit, disebutkan: Sesungguhnya partai adalah sekelompok orang. Partai adalah seorang dengan pengikut dan pendukungnya yang punya satu pandangan dan satu nilai.’’ Sementara siyasah/politik adalah melakukan sesuatu yang memberi mashlahat padanya (Lisanul Arab, Ibn Mandzur). Sehingga definisi Parpol adalah merupakan suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, cita-cita dan tujuan yang sama dalam rangka mengurusi urusan rakyat (www.hizbut-tahrir.or.id).

Sejak merebaknya kasus korupsi akhir-akhir ini  yang menjerat banyak nama pejabat pemerintah dan tersangkutnya Partai Demokrat dalam kasus korupsi membuat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik kian menurun. Sebuah survey yang dilakukan oleh Centre of Strategic and International Studies (CSIS) 16-24 Januari 2012 lalu menemukan fakta bahwa mayoritas rakyat tidak lagi percaya kepada partai politik, hasilnya yaitu sekitar 87,4 persen. Angka ini mirip dengan survey sebelumnya yang dilakukan oleh LSI akhir tahun lalu yang menyatakan bahwa kepercyaan masyarakat Indonesia terhadap partai politik anjlok, hanya tinggal 23,4 persen saja. 

Tidak salah jika beberapa waktu lalu salah satu media massa ternama di tanah air, Republika  bekerja sama dengan PSKN Fakultas Hukum Unpad mengadakan sebuah forum  yang mengangkat tema ‘Partai Politik Masih Perlu Ga Sih?’. Mempertanyakan kelayakan partai politik untuk hidup di tengah-tengah masyarakat. Seperti yang nampak dihadapan mata, saat ini peran partai politik sudah bergeser. Tidak lagi sebagai penyalur aspirasi masyarakat, pemberi pencerdasan, dan pengontrol terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah yang merupakan fungsi sejati partai politik. Tetapi kondisi partai politik saat ini tidak ubahnya sebagai ladang untuk mencari kehidupan dan kekuasaan, korupsi yang melanda banyak anggota partai politik dan para wakil rakyat yang membuat undang-undang tidak pro rakyat merupakan cerminan mereka hari ini.

Munculnya perilaku partai politik yang demikian tidak lain adalah akibat dari sebuah mekanisme politik alias sistem politik yang membuat partai-partai politik mau tidak mau berlaku demikian. Biaya pemilu yang mahal, gaji yang tak seberapa setelah menjabat menjadikan mereka sibuk memutar otak bagaimana caranya mengembalikan uang yang telah mereka keluarkan dalam pesta demokrasi, pemilihan umum. Tidak salah jika ada guyonan yang mengatakan bahwa pejabat pemerintah yang menduduki kursi kekuasaannya selama 5 tahun akan disibukan di 3 tahun pertamanya dengan mencari cara bagaimana agar uang yang mereka keluarkan selama pemilu itu dapat kembali dan di 2 tahun berikutnya adalah bagaimana mempersiapkan diri dan partai untuk menghadapi pemilu yang akan datang. Akhirnya rakyat tidak terurus. Maka pantas jika angka kemiskinan tiap hari semakin meningkat.

Pemilu dan demokrasi adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Tanpa pemilu proses demokrasi tidak akan pernah berjalan. Tanpa biaya yang besar pemilu juga tidak bisa dilaksanakan. Itu artinya demokrasi membutuhkan biaya yang besar, maka tidak salah jika kita partai-partai politik yang katanya memperjuangkan rakyat melalui jalan demorkasi tidak akan mampu menjalankan fungsinya sebagai sebuah badan yang mengurusi urusan umat; penyalur aspirasi umat,  pencerdas dan pengontrol pemerintah. Mereka akan disibukan dengan bagaimana mengembalikan modal yang selama ini dikeluarkan untuk pemilu dan bagaimana caranya agar dipemilu selanjutnya rakyat masih mau untuk memilih sehingga kekuasaan saat ini tetap ditangan atau bahkan bisa lebih tinggi lagi. Demokrasi inilah yang justru menggerus idealisme partai yang ingin memperjuangkan umat tetapi malah menjadikan mereka sebagai alat politik untuk mendapatkan kekuasaan dalam pemilu.

Tidakkah harusnya kita sekarang mempertanyakan demokrasi yang oleh pencetusnya sendiri yaitu Aristoteles dikatakan sebagai sebuah sistem yang gagal masih harus dipertahankan untuk menaungi kehidupan partai politik yang saat ini menjamur dimana-mana? Yang dengan demokrasi peran dan fungsi partai politik justru melenceng jauh dari yang seharusnya. Perlu disadari bersama bahwa kita sudah seharusnya mencampakkan sistem demokrasi ini dengan mencari sistem politik lain yang mampu mengembalikan peran dan fungsi partai politik ke rel yang benar sebagai penyalur aspirasi umat,  pencerdas masyarakat, dan pengontrol pemerintah. Sebuah sistem yang menjadikan partai politik bukan lagi sebagai kendaraan untuk meraih kekayaan dan kekuasaan tetapi bagaimana menjadikan partai politik sebagai pengontrol penguasa agar kehidupan masyarakat tetap terjamin kesejahteraannya dengan memberikan pencerdasan kepada masyarakat dan yang akan menjadi pendengar aspirasi masyarakat.

Sebuah sistem yang paripurna yang terbukti secara empiris mampu mensejahterakan manusia selama 14 abad, yang berasal dari yang Maha Sempurna yaitu sistem Islam. Dengan sistem Islam ini, partai tidak lagi memikirkan bagaimana meraih kekuasaan dan pendapatkan kekayaan tetapi kembali kepada fungsinya sebagai partai politik yang mengurusi urusan umat; penyalur aspirasi umat, pencerdas umat dan pengontrol pemerintah. Melakukan amar makruf nahyi munkar kepada masyarakat dan terutama kepada penguasa agar tetap menjalankan aturan dari yang Maha Sempurna agar masyarakat tetap mendapatkan kesejahteraannya. Hanya dengan sistem Islamlah partai politik akan mampu kembali menemukan peran sejatiya dan menjalankan kembali fungsinya sebagai sebuah badan yang mengurusi urusan umat; penyalur aspirasi umat, pencerdas umat dan pengontrol pemerintah.

dimuat
di http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/12/04/03/m1svbm-mengembalikan-peran-partai-politik

Bakteri

"Bakteri akan pergi dan mati dalam tubuh manusia jika pemberian antibiotik dilakukan dengan benar. Jika tidak, dia akan resisten dan tetap berada dalam tubuh manusia bahkan mengganas dengan membuat koloni yang lebih besar..."

Bakteri yang kecil saja bisa mengalami resistensi, manusia?

Rabu, 07 Maret 2012

Premanisme: Buah Kapitalisme-Sekulerisme


Aksi premanisme di negeri ini semakin menggila. Kamis (23/2) lalu sekelompok preman menyerbu kelompok seterunya di Rumah Duka, Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto Jakarta Pusat dini hari yang menewaskan dua korban jiwa. Ironisnya, aksi premanisme itu terjadi di kompleks rumah sakit milik TNI Angkatan Darat dan tidak jauh dari pos polisi.

Bentuk aksi premanisme yang beragam dari yang kecil sampai yang besar, mulai pak Ogah di jalanan, mengamen/mengemis seraya memaksa sampai penagih utang (debt collector) mengintai masyarakat. Tak salah rasanya jika setiap saat masyarakat dihantui ketakutan akibat aksi premanisme tersebut.

Diakui atau tidak, selain akibat kemiskinan dan pengangguran, aksi premanisme ini tumbuh dan menggurita karena tidak adanya sanksi hukum yang tegas yang mampu memberikan efek jera bagi pelaku aksi premanisme ini. Selain itu, adanya 'simbiosis mutualisme' antara aparat dan preman membuat aksi premanisme ini semakin menjadi. Bukan rahasia lagi, banyak preman yang dipelihara oknum TNI atau Polri.

Untuk memberantas premanisme perlu ketegasan yang berkelanjutan. Polri jangan cuma bersemangat menuntaskan kasus premanisme dengan kejadian besar saja, seperti kasus John Kei dan pembantaian di RSPAD. Tetapi juga berkelanjutan dalam menindak setiap kasus kriminalitas lainnya walaupun itu kecil. Sistem hukum dan sanksi yang memberikan efek jera sangat dibutuhkan untuk menghentikan semua ini.

Hal yang tidak kalah penting untuk menghentikan kasus ini adalah pemeritah harus menyediakan lapangan kerja bagi seluruh rakyat dan membina ketakwaan masyarakat yang bisa diwujudkan dengan pendidikan yang gratis baik formal maupun informal yang dapat menjangkau semua lapisan masyarakat. Dengan keimanan dan ketakwaan yang senantiasa dipupuk maka dalam diri masyarakat terbentuk kontrol diri yang kuat dan bisa menjadi benteng menghalangi munculnya aksi premanisme. Sehingga rasa aman akan bisa dinikmati oleh seluruh rakyat.

Sayangnya hal tersebut akan sangat sulit sekali diwujudkan dalam kehidupan demokrasi yang serba bebas seperti sekarang ini. Paham sekulerisme yang memisahkan agama dari pengaturan kehidupan inilah yang membuat faktor keimanan dinihilkan. Sehingga perisai diri untuk tidak berbuat jahat pun menjadi sedemikian tipis bahkan tidak ada.

Butuh adanya sebuah sistem aturan kehidupan yang bisa menumbuhkan keimanan dan ketakwaan individu sehingga mampu menjadi benteng untuk tidak melakukan tindakan kriminalitas, menyediakan lapangan kerja bagi rakyat, dan memberikan sanksi hukum yang memberikan efek jera. Kondisi seperti ini hanya mampu ditemukan dalam sistem Islam.

1.3.2012

Selasa, 10 Januari 2012

Inilah Hipotesis Mahasiswa Misterius


Seorang Profesor dari sebuah universitas terkenal menantang mahasiswa-mahasiswa nya dengan pertanyaan ini, "Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?".

Seorang mahasiswa dengan berani menjawab, "Betul, Dia yang menciptakan semuanya".

"Tuhan menciptakan semuanya?" Tanya professor sekali lagi. "Ya, Pak, semuanya" kata mahasiswa tersebut.

Profesor itu menjawab, "Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan".

"Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab hipotesis professor tersebut. Profesor itu merasa menang dan menyombongkan diri bahwa sekali lagi dia telah membuktikan kalau Agama itu adalah sebuah mitos.

Mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata, "Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?".

"Tentu saja," jawab si Profesor,

Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, "Profesor, apakah dingin itu ada?"

"Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada.

Kamu tidak pernah sakit flu?" Tanya si professor diiringi tawa mahasiswa lainnya.

Mahasiswa itu menjawab, "Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada.
Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas."

Mahasiswa itu melanjutkan, "Profesor, apakah gelap itu ada?" Profesor itu menjawab, "Tentu saja itu ada."

Mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi anda salah, Pak.

Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak.

Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya."

Akhirnya mahasiswa itu bertanya, "Profesor, apakah kejahatan itu ada?"

Dengan bimbang professor itu menjawab, "Tentu saja, seperti yang telah kukatakan sebelumnya.

Kita melihat setiap hari di Koran dan TV. Banyak perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara-perkara tersebut adalah manifestasi dari kejahatan."

Terhadap pernyataan ini mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi Anda salah, Pak.

Kejahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan. Seperti dingin atau gelap, kajahatan adalah kata yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan.

Tuhan tidak menciptakan kajahatan. Kajahatan adalah hasil dari tidak adanya kasih Tuhan dihati manusia. Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya."

Profesor itu terdiam.


Nama mahasiswa itu adalah Albert Einstein .

Sengketa Mesuji-Bima


       Fenomena konflik sosial politik di Indonesia kembali terjadi dan hingga kini pemerintah belum juga mampu menyelesaikan dan mengusut tuntas kasus tersebut.Kasus Mesuji dan Bima yang mencuat di akhir tahun lalu hanyalah dua dari sekian banyak kasus konflik agraria yang terjadi. Sepanjang tahun 2011, Konsorsium Pembaharuan Agraria mencatat terdapat 163 konflik agraria di seluruh Indonesia. UU liberal yang membenarkan penguasaan sumber daya kepada pengusaha swasta bahkan asing ini merupakan sumber dari konflik-konflik agraria yang selama ini terjadi.
      Jika kita perhatikan, akar permasalahan dari konflik sengketa lahan tersebut adalah diberlakukannya undang-undang -UU Perkebunan, UU Minerba, UU Penanaman Modal dsb- yang memberikan jalan bagi pihak-pihak swasta untuk menguasai tanah warga dengan leluasa. Inilah salah satu potret kehidupan yang dihasilkan dari sebuah sistem yang melahirkan corporation state berupa hubungan simbiosis mutualisme antara penguasa dan pengusaha, kapitalisme.
      Salah satu contohnya adalah pasal 12 UU Pengadaan Lahan yang mengatakan bahwa pembangunan kepentingan umum “wajib diselenggarakan Pemerintah dan dapat bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau Badan Usaha Swasta”. Terlihat jelas bahwa dalam pasal tersebut pemerintah berusaha berpihak kepada swata dan jelas dengan adanya aturan tersebut akan menguntungkan mereka.
      Berbeda halnya dalam Islam, dalam pandangan bahwa sumber daya alam (SDA) yang besar termasuk hutan dan tambang yang depositnya besar adalah milik rakyat (milkiyah ‘ammah) yang haram diberikan kepada swasta. SDA itu harus dikelola negara mewakili rakyat dan seluruh hasilnya dikembalikan untuk kepentingan rakyat. Syariah Islam juga menetapkan tanah-tanah terlantar dikuasai negara. Negara kemudian membagikannya kepada rakyat yang mampu menggarapnya, dan bukan menguasakannya kepada pemodal besar seperti dalam sistem kapitalisme sekarang ini.
      Sudah banyak UU yang dikeluarkan pemerintah tetapi tidak pernah bisa menyelesaikan dengan tuntas masalah-masalah yang terjadi. Inilah ciri khas kapitalisme, tambal sulam. Menyelesaikan masalah dengan solusi yang justru akan menimbulkan masalah baru. Islam hadir sebagai aturan yang berasal dari Pencipta manusia memiliki cara untuk menangani konflik-konflik tersebut. Syariah Islam akan menetapkan sumber daya yang depositnya besar dan tanah terlantar akan dikelola negara kemudian hasilnya akan digunakan untuk kepentingan rakyat.
      Manusia dengan segala keterbatasannya harus mengakui bahwa aturan yang dibuatnya pun penuh keterbatasan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, sudah selayaknya kita menggunakan aturan yang menciptakan manusia dengan segala kesempurnaan-Nya untuk menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan, yaitu dengan aturan Islam. Bukan saatnya lagi kita mempertahankan aturan-aturan tambal sulam kapitalis ini karena yang dilakukan bukanlah mennyelesaikan masalah, yang ada adalah bagaimana para kapital itu tetap tegak berdiri dengan meminta pemerintah untuk tetap mempertahankan negara -yang sebenarnya sudah bobrok- sebagai pelindung dari berbagai  kepentingan dirinya.
      Penerapan syariat Islam sebagai solusi tanpa didukung adanya sebuah negara ibarat seseorang haus yang menuang air dalam bejana tidak ke dalam gelas, membiarkannya tumpah kemana-mana.Jadi, syariat Islam butuh sebuah institusi yang mampu menerapkannya secara sempurna sehingga syariat Islam mampu memperlihatkan dirinya sebagai problem solver dari setiap permasalahan kehidupan. Institusi tersebut tidak lain adalah sistem pemerintahan Islam yang khas yang dengannya syariah Islam mampu diterapkan.  Bukan federal, monarki ataupun republik.tetapi tata aturan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, Khilafah Islamiyah.