Selain korupsi, pementasan drama usang
yang paling sering dimainkan pemerintah adalah kenaikan harga BBM. Terhitung
dalam 10 tahun terakhir, rezim SBY sudah menaikan
BBM sebanyak 6 kali. Tertanggal mulai 21 Juni 2013 tengah malam, pemerintah
ketok palu untuk menegaskan harga BBM resmi naik. Kini harga premium meningkat menjadi Rp 6.500/liter dan solar menjadi
Rp 5.500/liter.
Dalih klasik kembali dikeluarkan pemerintah yang tega
menaikkan (lagi) tarif BBM yang sudah mahal tersebut. Alasan utamanya tidak
lain adalah untuk mengurangi beban subsidi yang dikatakan sudah sangat besar.
Biaya subsdi BBM dalam APBN 2013 mencapai Rp 274,7 triliun. Angka tersebut
dinilai pemerintah harus dikurangi sehingga mampu menghemat APBN sebesar Rp 21 trilyun.
Padahal di tahun 2012 saja masih
ada sisa APBN sebanyak Rp 32,7 trilyun. Jadi sebenarnya masih bisa menutupi
subsidi BBM, bahkan masih sisa Rp 11,7 trilyun.
Chatib Basri mengatakan sebenarnya pemerintah selalu bisa mencari
pendapatan, misalnya dari pajak atau dari manapun supaya defisit anggaran bisa
tertanggulangi. Tetapi solusi tersebut
tidak digunakan dengan alasan subsidi BBM yang mencapai Rp 150 ribu per
hari hanya dinikmati orang kaya saja dan memberikan Rp 150 ribu per bulan untuk
masyarakat miskin bertentangan dengan keadilan. Sehingga pemerintah menilai,
menaikkan harga BBM adalah solusi jitu untuk menuntaskan ketidakadilan ini.
Hasil dari penghematan BBM
bersubsidi ini diklaim pemerintah akan
dialihkan untuk rakyat miskin salah satunya BLSM. Tapi menurut
Ichsanudin Noorsy, itu sebenarnya bohong karena pendapatan dari kenaikan BBM
bersubsidi tersebut hanya sekitar Rp. 17,5 T saja dan menurutnya program BLSM
itu dibiayai dari utang. Buktinya sangat jelas tertera di laman situs Asian
Development Bank (ADB) yang menyatakan bahwa BLSM bersumber dari utang ADB
dengan nama singkatan proyek DPSP (Development Policy Support
Program). Jadi sebenarnya tidak ada korelasinya antara kenaikan BBM
dengan pemberian BLSM bagi rakyat miskin.
Tapi dibalik pandainya pemerintah
bersilat lidah, mari kita hitung dengan cara
sederhana saja BLSM yang akan ‘segera’ diberikan pemeritah pasca kenaikan BBM
tersebut. Pertanyaannya adalah apakah uang Rp. 150 ribu yang hanya
akan diberikan selama 4 bulan ini bisa untuk mencukupi kebutuhan hidup ditengah
meroketnya harga bahan pangan dan biaya transportasi? Lalu, siapa sebenarnya
yang diuntungkan dengan naiknya harga BBM bersubsidi ini?
Inilah potret nyata tentang negeri yang katanya menjadikan
suara rakyat sebagai suara utama pengambilan keputusan, tapi ternyata tidak
terbukti. Negeri yang dinilai sebagai negeri paling demokratis ini ternyata
pemerintahnya sudah ‘tuli’, tidak mampu lagi mendengar jeritan rakyat. BBM
tetap saja dinaikkan, padahal mayoritas publik (hasil survey LSI 79,21 persen)
tidak setuju dengan kenaikan harga BBM dan yang setuju hanya 19,10 persen saja.
Jadi untuk siapakah mereka duduk di
Senayan sana?
Andai negeri yang mayoritas muslim ini tidak menafikkan aturan
Tuhan. Andai penduduknya mau diatur dengan syariat Tuhannya pasti tidak akan
ada lagi pementasan drama kenaikan BBM yang bisa ditonton rakyat. Keberpihakan
negara hanya akan diberikan kepada rakyat, bukan pada asing sebagaimana yang
dialami oleh Indonesia hari ini. Terbelit dengan berbagai macam perjanjian
asing yang membuat Indonesia mau tidak mau harus meliberalisasi sektor migas sebagai
bentuk ketundukan pada IMF, Bank Dunia, USAID dan ADB. Juga terikatnya Indonesia sebagai anggota Organisasi
Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi (OECD) dan G-20 yang mendesak penghapusan
subdisi BBM dan TDL.
Sejatinya, negara dan penguasalah yang
berkewajiban memelihara kepentingan rakyat dan menjamin kehidupan rakyat. Negaralah
yang wajib mengelola kekayaan umum seperti migas dan mengembalikan seluruh
hasilnya kepada rakyat untuk kesejahteraan mereka, bukan untuk asing. Sayangnya
kondisi ini tidak pernah bisa kita lihat kecuali dalam sebuah institusi yang
menjadikan hukum Allah SWT sebagai aturan kehidupan, Khilafah Islamiyah.
2.7.2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar