Selasa, 02 Februari 2016

Mengembalikan Pudarnya Pesona Partai Islam

Pemilu Legislatif 9 April telah berlalu, meskipun real count belum diumumkan KPU setidaknya masyakat sudah bisa mendapatkan gambaran jelas siapa pemenang pileg kali ini. Boleh dikatakan untuk negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini, partai Islam bukanlah ‘barang seksi’ yang bisa menarik minat para pemilih. Hasil penghitungan cepat beberapa lembaga survey memperlihatkan bahwa partai Islam hanya mampu meraih kurang dari 10% suara. Jauh tertinggal dari partai Nasionalis yang berhasil mendapatkan suara hampir dua kali lipatnya.
Kondisi partai Islam yang nyaris kalah telak dari partai nasionalis membuat mereka mau tidak mau harus mengurungkan niatnya untuk memunculkan nama capres yang selama ini sudah mereka usung, jika memang masih idealis. Alternatif lain yang sedang ramai digembar-gemborkan adalah kembalinya koalisi poros tengah yang menghimpun berbagai partai Islam untuk mengusung satu pasangan capres. Atau pilihan ketiga, mengakui kekalahan dengan merapat ke dalam barisan partai nasionalis dan harus berpuas diri dengan duduk di lapis kedua.
Pilihan untuk membentuk kembali koalisi poros tengah rasanya bukanlah pilihan yang baik jika ingin meraih kekuasaan. Setidaknya ada dua alasan yang bisa menguatkan pernyataan di atas, pertama karena suara partai Islam saat ini sudah pecah, bisa dilihat PKB dan PPP mulai ‘mesra’ dengan partai nasionalis. Kedua, sebagaimana yang diungkapkan oleh Pengamat Politik dan Hukum Universitas Parahyangan, Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf bahwa partai Islam hari ini tidak memiliki warna baru, berbagai program yang disodorkan tidak memiliki signifikansi yang berbeda dengan partai-partai nasionalis sekuler bahkan tidak lebih unggul. Sehingga beliau menyatakan sebuah kewajaran ketika hari ini banyak masyarakat yang tidak mendukung karena dianggap tidak ada yang layak dan tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Termasuk dalam pemilu capres dan cawapres mendatang.
Pilihan untuk berkoalisi dengan partai nasionalispun bukanlah pilihan yang tepat, karena itu sama saja dengan menghapus dan menghilangkan identitas diri sebagai partai Islam. Dengan merapatnya partai Islam kepada partai nasionalis justru akan membuat tubuh partai Islam menjadi pragmatis dan mau tidak mau harus setuju dengan suara partai nasionalis yang sering menetapkan kebijakan yang bertentangan dengan Islam. Misalnya saja legislasi sejumlah UU yang liberal, bertentangan dengan Islam, dan merugikan rakyat tak jarang harus disetujui oleh anggota partai Islam di DPR. Keberadaan anggota partai Islam baik ditataran legislatif maupun eksekutif tidak mampu melahirkan kebijakan yang Islami meskipun hanya sedikit. Tetapi justru malah menjadikan partai Islam melahirkan kembali dirinya sebagai partai yang tidak lagi Islami (partai terbuka) yang jauh dari kampanye menyuarakan Islam.
Partai Islam harus menyadari bahwa hari ini idealismenya sudah semakin pudar dan terkikis. Tidak lagi terlihat perbedaan antara partai Islam dan nasionalis. Dan hal inilah yang mengakibatkan masyarakat akhirnya tidak lagi tertarik untuk mengusungnya. Partai Islam harus kembali kepada jatidirinya sebagai sebuah wadah edukasi politik masyarakat yang menjadikan Islam sebagai wacana dalam setiap nafasnya. Kembali mengutip pernyataan Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, bahwa partai Islam hari ini harus mengubah kembali orientasi dan cara berjuangnya dengan berupaya agar menjadikan Islam sebagai solusi atas permasalahan kehidupannya sehingga masyarakat merasa membutuhkan Islam.
 Selain itu, partai Islam juga harus memahami jalan perjuangan yang ditempuhnya hari ini bukanlah track yang benar. Perjuangan melalui jalan demokrasi adalah kondisi yang hanya akan menjadikan identitasnya luntur sebagai partai Islam. Karena demokrasi dengan asas sekulernya tidak akan membiarkan dirinya hancur dengan diterapkannya syariat Islam dalam pemerintahan. Wallahu a’lam.


21.4.2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar