Pemilu Legislatif
9 April telah berlalu, meskipun real
count belum diumumkan KPU setidaknya masyakat sudah bisa mendapatkan
gambaran jelas siapa pemenang pileg kali ini. Boleh dikatakan untuk negeri yang
mayoritas penduduknya beragama Islam ini, partai Islam bukanlah ‘barang seksi’
yang bisa menarik minat para pemilih. Hasil penghitungan cepat beberapa lembaga
survey memperlihatkan bahwa partai Islam hanya mampu meraih kurang dari 10%
suara. Jauh tertinggal dari partai Nasionalis yang berhasil mendapatkan suara
hampir dua kali lipatnya.
Kondisi partai
Islam yang nyaris kalah telak dari partai nasionalis membuat mereka mau tidak
mau harus mengurungkan niatnya untuk memunculkan nama capres yang selama ini sudah
mereka usung, jika memang masih idealis. Alternatif lain yang sedang ramai
digembar-gemborkan adalah kembalinya koalisi poros tengah yang menghimpun
berbagai partai Islam untuk mengusung satu pasangan capres. Atau pilihan
ketiga, mengakui kekalahan dengan merapat ke dalam barisan partai nasionalis dan
harus berpuas diri dengan duduk di lapis kedua.
Pilihan untuk
membentuk kembali koalisi poros tengah rasanya bukanlah pilihan yang baik jika
ingin meraih kekuasaan. Setidaknya ada dua alasan yang bisa menguatkan
pernyataan di atas, pertama karena
suara partai Islam saat ini sudah pecah, bisa dilihat PKB dan PPP mulai ‘mesra’
dengan partai nasionalis. Kedua, sebagaimana yang diungkapkan oleh Pengamat
Politik dan Hukum Universitas Parahyangan, Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf bahwa
partai Islam hari ini tidak memiliki warna baru, berbagai program yang
disodorkan tidak memiliki signifikansi yang berbeda dengan partai-partai nasionalis
sekuler bahkan tidak lebih unggul. Sehingga beliau menyatakan sebuah kewajaran
ketika hari ini banyak masyarakat yang tidak mendukung karena dianggap tidak
ada yang layak dan tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Termasuk dalam pemilu
capres dan cawapres mendatang.
Pilihan untuk
berkoalisi dengan partai nasionalispun bukanlah pilihan yang tepat, karena itu
sama saja dengan menghapus dan menghilangkan identitas diri sebagai partai
Islam. Dengan merapatnya partai Islam kepada partai nasionalis justru akan
membuat tubuh partai Islam menjadi pragmatis dan mau tidak mau harus setuju
dengan suara partai nasionalis yang sering menetapkan kebijakan yang
bertentangan dengan Islam. Misalnya saja legislasi sejumlah UU yang liberal,
bertentangan dengan Islam, dan merugikan rakyat tak jarang harus disetujui oleh
anggota partai Islam di DPR. Keberadaan anggota partai Islam baik ditataran
legislatif maupun eksekutif tidak mampu melahirkan kebijakan yang Islami
meskipun hanya sedikit. Tetapi justru malah menjadikan partai Islam melahirkan
kembali dirinya sebagai partai yang tidak lagi Islami (partai terbuka) yang
jauh dari kampanye menyuarakan Islam.
Partai Islam harus menyadari bahwa hari ini
idealismenya sudah semakin pudar dan terkikis. Tidak lagi terlihat perbedaan
antara partai Islam dan nasionalis. Dan hal inilah yang mengakibatkan
masyarakat akhirnya tidak lagi tertarik untuk mengusungnya. Partai Islam harus
kembali kepada jatidirinya sebagai sebuah wadah edukasi politik masyarakat yang
menjadikan Islam sebagai wacana dalam setiap nafasnya. Kembali mengutip
pernyataan Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, bahwa partai Islam hari ini harus
mengubah kembali orientasi dan cara berjuangnya dengan berupaya agar menjadikan
Islam sebagai solusi atas permasalahan kehidupannya sehingga masyarakat merasa
membutuhkan Islam.
Selain itu,
partai Islam juga harus memahami jalan perjuangan yang ditempuhnya hari ini
bukanlah track yang benar. Perjuangan
melalui jalan demokrasi adalah kondisi yang hanya akan menjadikan identitasnya luntur
sebagai partai Islam. Karena demokrasi dengan asas sekulernya tidak akan
membiarkan dirinya hancur dengan diterapkannya syariat Islam dalam
pemerintahan. Wallahu a’lam.
21.4.2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar