Selasa, 02 Februari 2016

Perempuan dan Politik

Gegap gempita pesta demokrasi sudah dimulai. Tepat 15 Maret 2014,  gong persaingan para calon pejabat untuk mengambil hati rakyat resmi digelar. Para caleg yang selama ini sebatas nampang di baligho atau poster,terhitung 15 Maret ini mereka bisa mulai blusukan mencari simpati rakyat agar memilih mereka. Dua belas partai politik siap bertarung memperebutkan kursi panas di pesta demokrasi  9 April nanti.
Tidak seperti pemilu sebelumnya, yang melibatkan banyak sekali partai. Pemilu kali ini hanya mampu ditembus oleh 12 wajah partai lama yang memenuhi kriteria KPU, sisanya harus rela nama besarnya berada dibelakang partai lain atau bahkan benar-benar dihapuskan. Kuota 30%  perempuan yang harus dipenuhi oleh setiap partai juga menjadi batu sandungan yang harus dihadapi partai-partai peserta pemilu.
Sejak dikeluarkannya UU Pemilu Legislatif No. 10 tahun 2008 dan UU No. 2 tahun 2008 tentang parpol yang harus mengatur ketentuan kuota caleg perempuan minimal 30 persen terutama untuk tingkat pusat, menjadi pihak yang dikebiri karena harus kalang kabut mencari kaum Ibu yang bersedia menjadi calegnya. Perempuan menjadi ‘barang mahal’ bagi partai.
Fenomena perempuan merambah dunia politik memang bukan hal yang baru, tetapi sosok Tri Rismaharini memberikan potret baru tentang politik perempuan hari ini. Walikota Surabaya itu menangis menyatakan keinginan pengunduran dirinya sebagai pimpinan Kota Pahlawan itu. Bukan karena takut kehilangan jabatan yang selama ini diembannya, tetapi lebih karena tekanan politik yang begitu besar dari berbagai pihak yang tidak suka dengan kinerja Walikota yang berhasil menerima 51 penghargaan sebagai Walikota terbaik ini.
Penutupan di kawasan Dolly, persoalan Kebun Binatang Surabaya, pembangunan tol tengah kota yang tak kunjung menemui titik temu penyelesaian, ditambah ancaman yang dialami keluarganya menjadi beberapa alasan yang melatarbelakangi Tri Risma mundur dari jabatannya ini. Mentalnya sebagai perempuan memang tidak akan mampu menghadapi tekanan pihak-pihak yang tidak menyukainya.
Tri Rismaharini, sosok yang berdedikasi untuk rakyat harus mengalami ‘intimidasi’ atas kerja kerasnya. Kejamnya dunia politik demokrasi kapitalis ternyata tidak mampu Risma taklukan dengan kerja ikhlasnya itu, perubahan yang diusungnya pun harus kandas jika berbenturan dengan para pemilik modal yang bertentangan dengannya.
Demokrasi kembali memperlihatkan jati dirinya bahwa bukan yang berdedikasi yang akan berkuasa, tapi uanglah yang harus menjadi penguasa dalam perputaran kehidupan bermasyarakat. Demokrasi tidak membiarkan Risma yang bekerja atas dorongan ketulusan mengabdi kepada rakyat, bahkan menghapuskannya.
Tri Risma dan 30% perempuan lainnya yang ada di DPR bukanlah sebagai sebuah solusi yang bisa menyelesaikan permasalahan negeri yang carut-marut ini. Bukan hanya sosok yang kita butuhkan tetapi bagaimana aturan kehidupan yang mampu mengakomodir kebutuhan dan kepentigan rakyat agar terpenuhi.
Islam sebagai aturan hidup yang sempurna juga memiliki pandangan terhadap sosok perempuan yang juga bisa berpolitik tanpa harus mengalami kejadian sebagaimana yang dialami Tri Risma. Peran politik perempuan dalam islam memberikan ruang bagi perempuan untuk melakukan amar makruf nahyi munkar, menjadi anggota partai politik, hak memilih dan dipilih sebagai majelis umat dan mengoreksi penguasa.
Islam telah memberikan penjelasan tentang aktivitas politik yang tidak diperkenankan bagi perempuan, yaitu aktivitas-aktivitas yang termasuk dalam wilayah kekuasaan/pemerintahan misalnya menjadi penguasa atau kepala negara.  Penguasa dipandang sebagai orang yang bertanggung jawab penuh secara langsung dalam mengurusi urusan umat. Dalam sistem Islam, jabatan penguasa mencakup khalifah (Kepala Negara), muawwin tafwidh (pembantu khalifah dalam urusan pemerintahan), wali (kepala wilayah) danamil (kepala daerah).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam telah bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abi Bakrah:  “Tidak akan pernah menang suatu kaum yang menyerahkan urusan (kekuasaannya) kepada perempuan.” (HR Bukhori).


 16.3.2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar