Kemashyuran sebuah peradaban tentunya tidak akan pernah
bisa dilepaskan dari peran intelektual. Dengan karya-karya yang dihasilkannya,
para intelektual atau tokoh-tokoh ilmuwan berkontribusi membangun negerinya
untuk bangkit dan terpandang dimata dunia. Bangkitnya Eropa dari zaman
kegelapan tentunya tidak lepas dari peran intelektual yang berusaha melepaskan
diri dari zaman kebodohan. Pada saat itu, wilayah timur (Islam) sedang
mengalami kebangkitan pengetahuan yang luar biasa. Berbagai penemuan di bidang
teknologi dan ilmu pengetahuan berkembang pesat jauh mengungguli Eropa yang
masih merangkak dalam kegelapan. Kungkungan gereja terhadap pengembangan ilmu
pengetahuan membuat Eropa membatu meskipun saat itu Eropa memiliki mudah
mengakses ilmu pengetahuan. Berabad tahun
kemudian atau lebih tepatnya tahun 1640 yang dipelopori oleh seorang
filosof yang bernama Descartez, ilmu pengetahuna di Eropa mulai mengalami perkembangan
yang pesat. Sejak saat itu Eropa tidak lagi mengenal masa kegelapan tetapi
sudah beralih kepada masa terang benderang, Renaisans.
Al-Zahrawi, Ibnu Sina, Abbas Ibn Firnas, Al-Jabr, Al-Kindi adalah sederet nama-nama ilmuan Islam yang
mashyurkan Islam dalam ilmu pengetahuan. Mereka jugalah yang menjadi kiblat
Barat sehingga membuat Barat hari ini menjadi kiblat berbagai macam ilmu
pengetahuan dan teknologi. Kondisi mengenaskan justri dialami kaum muslim hari ini.
Sosok-sosok ilmuwan Islam yang sejatinya dimiliki kaum muslim dan menjadi guru
bagi Barat ternyata tidak mampu membuat negeri-negeri muslim gemilang seperti
halnya Barat hari ini. Padahal, kegemilangan dan kemahsyuran adalah sebuah
keniscayaan bagi kaum muslim disaat Eropa berkutat dengan Dark Age.
Mengutip
pernyataan Fahmi Amhar pada Jakarta International Conference of Muslim
Intelectualls (15/12) yang diselenggarakan oleh HTI, beliau menilai bahwa hari
ini para akademisi di Dunia Islam terjebak pada “saintifikasi islam”
yaitu mencari-cari sains dibalik suatu ajaran Islam, atau “sains ta’wili” yaitu
menebak-nebak sains sebagai makna suatu ayat yang sebenarnya mutasyabihat. Sehingga yang terjadi bukanlah bagaimana menyelesaikan permasalah umat
hari ini melainkan bagaimana melakukan “islamisasi
sains” yang tak lebih dari mencocok-cocokkan penemuan sains dengan ayat suci. Sedangkan jika kita lihat kondisi umat Islam hari ini sungguh sangat
mengenaskan, pembantaian kaum muslim di Timur Tengah terjadi setiap hari,
kemiskinan dan kelaparan menjerat tanpa pandang bulu, kriminalitas, korupsi,
pezinaan adalah potret wajib yang harus dilahap kaum muslim setiap hari. Berbagai
rundungan masalah menimpa kaum muslim terus-menerus seolah tidak pernah ada
yang bisa menghentikannya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa peran intelektual begitu besar dalam menyelesaikan
permasalahan suatu negeri begitu besar. Bangkitnya Barat dari masa
kegelapan karena peran intelektual
adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri. Kegemilangan Islam yang mampu berjaya
selama 14 abad di 2/3 belahan dunia juga tidak lepas dari peran intelektual. Negeri
ini dan negeri muslim lainnya tidak kekurangan kaum intelektual, namun
sayangnya tidak sedikit para intelektual yang menutup mata terhadap kondisi
tersebut. Keadaan ini jelas akan memperparah kondisi rakyat negeri ini. Dengan
kekayaan SDM intelektual yang begitu melimpah, rasanya sudah sepantasnya negeri
ini bangkit dari keterpurukannya. Sudah saatnya kaum intelektual membuka mata,
hati, dan pikirannya untuk mengeluarkan umat dari jeratan problematika
kehidupan yang kian melilit. Tidak hanya menyibukkan diri dengan aktivitas
keintelektualannya (penelitian, dsb) saja tetapi juga mampu menyibukkan diri
dengan kembali membawa umat bangkit menuju peradaban gemilang, Islam.
9.2.2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar