Selasa, 02 Februari 2016

Intelektual dan Kebangkitan Peradaban

Kemashyuran sebuah peradaban tentunya tidak akan pernah bisa dilepaskan dari peran intelektual. Dengan karya-karya yang dihasilkannya, para intelektual atau tokoh-tokoh ilmuwan berkontribusi membangun negerinya untuk bangkit dan terpandang dimata dunia. Bangkitnya Eropa dari zaman kegelapan tentunya tidak lepas dari peran intelektual yang berusaha melepaskan diri dari zaman kebodohan. Pada saat itu, wilayah timur (Islam) sedang mengalami kebangkitan pengetahuan yang luar biasa. Berbagai penemuan di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan berkembang pesat jauh mengungguli Eropa yang masih merangkak dalam kegelapan. Kungkungan gereja terhadap pengembangan ilmu pengetahuan membuat Eropa membatu meskipun saat itu Eropa memiliki mudah mengakses ilmu pengetahuan. Berabad  tahun kemudian atau lebih tepatnya tahun 1640 yang dipelopori oleh seorang filosof yang bernama Descartez, ilmu pengetahuna di Eropa mulai mengalami perkembangan yang pesat. Sejak saat itu Eropa tidak lagi mengenal masa kegelapan tetapi sudah beralih kepada masa terang benderang, Renaisans.
Al-Zahrawi, Ibnu Sina, Abbas Ibn Firnas, Al-Jabr, Al-Kindi adalah sederet nama-nama ilmuan Islam yang mashyurkan Islam dalam ilmu pengetahuan. Mereka jugalah yang menjadi kiblat Barat sehingga membuat Barat hari ini menjadi kiblat berbagai macam ilmu pengetahuan dan teknologi. Kondisi mengenaskan justri dialami kaum muslim hari ini. Sosok-sosok ilmuwan Islam yang sejatinya dimiliki kaum muslim dan menjadi guru bagi Barat ternyata tidak mampu membuat negeri-negeri muslim gemilang seperti halnya Barat hari ini. Padahal, kegemilangan dan kemahsyuran adalah sebuah keniscayaan bagi kaum muslim disaat Eropa berkutat dengan Dark Age.
 Mengutip pernyataan Fahmi Amhar pada Jakarta International Conference of Muslim Intelectualls (15/12) yang diselenggarakan oleh HTI, beliau menilai bahwa hari ini para akademisi di Dunia Islam terjebak pada “saintifikasi islam” yaitu mencari-cari sains dibalik suatu ajaran Islam, atau “sains ta’wili” yaitu menebak-nebak sains sebagai makna suatu ayat yang sebenarnya mutasyabihat. Sehingga yang terjadi bukanlah bagaimana menyelesaikan permasalah umat hari ini melainkan bagaimana melakukan “islamisasi sains” yang tak lebih dari mencocok-cocokkan penemuan sains dengan ayat suci. Sedangkan jika kita lihat kondisi umat Islam hari ini sungguh sangat mengenaskan, pembantaian kaum muslim di Timur Tengah terjadi setiap hari, kemiskinan dan kelaparan menjerat tanpa pandang bulu, kriminalitas, korupsi, pezinaan adalah potret wajib yang harus dilahap kaum muslim setiap hari. Berbagai rundungan masalah menimpa kaum muslim terus-menerus seolah tidak pernah ada yang bisa menghentikannya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa peran  intelektual begitu besar dalam menyelesaikan permasalahan suatu negeri begitu besar. Bangkitnya Barat dari masa kegelapan  karena peran intelektual adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri. Kegemilangan Islam yang mampu berjaya selama 14 abad di 2/3 belahan dunia juga tidak lepas dari peran intelektual. Negeri ini dan negeri muslim lainnya tidak kekurangan kaum intelektual, namun sayangnya tidak sedikit para intelektual yang menutup mata terhadap kondisi tersebut. Keadaan ini jelas akan memperparah kondisi rakyat negeri ini. Dengan kekayaan SDM intelektual yang begitu melimpah, rasanya sudah sepantasnya negeri ini bangkit dari keterpurukannya. Sudah saatnya kaum intelektual membuka mata, hati, dan pikirannya untuk mengeluarkan umat dari jeratan problematika kehidupan yang kian melilit. Tidak hanya menyibukkan diri dengan aktivitas keintelektualannya (penelitian, dsb) saja tetapi juga mampu menyibukkan diri dengan kembali membawa umat bangkit menuju peradaban gemilang, Islam.


 9.2.2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar