Di
tengah gegap gempita pesta demokrasi yang penuh liku, fokus perhatian
masyarakat Indonesia kini terpecah dengan menyoroti kasus kejahatan seksual
yang banyak menimpa anak-anak. Bermula dari kasus kekerasan seksual yang
dialami oleh seorang anak di sebuah sekolah swasta internasional kenamaan Jakarta International School, fenomena
gunung es pedofilia di Indonesia semakin terkuak. Terbaru, kasus pedofilia yang
melibatkan Emon ternyata sudah memakan korban yang sangat banyak. Tercatat, 110
anak di Sukabumi telah menjadi korban kebuasan Emon alias AS.
Pelecehan/kekerasan
seksual pada anak memang bukanlah hal yang baru terjadi di negeri ini. Data yang dilaporkan kepada Komnas
Perlindungan Anak cukup mencengangkan, pelecehan/kekerasan
seksual pada anak setiap tahunnya terus meningkat. Sekretaris
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Erlinda mengatakan, setiap tahun tren
kekerasan seksual terhadap anak-anak mengalami peningkatan hingga 30 persen. KPAI
mencatat, jenis kejahatan anak tertinggi sejak
tahun 2007 adalah tindak sodomi terhadap anak. Dari 1.992 kasus
kejahatan anak yang masuk ke Komnas Anak, sebanyak 1.160 kasus atau 61,8
persen, adalah kasus sodomi anak.
Maraknya
kasus pelecehan/kekerasan seksual pada anak tidak bisa hanya ditilik dari satu
penyebab tunggal saja, tetapi banyak faktor penyebab yang membuat kasus ini
terus menggurita. Salah satu penyebab yang disampaikan Dr. Asrorun Sholeh,
Ketua Divisi Sosialisasi KPAI adalah budaya hidup yang serba boleh alias
permisif dewasa ini membuat masyarakat tidak tahu lagi rambu-rambu norma dan
agama dalam menyalurkan hasrat seksualnya. Penyebab lain yang menjadikan kasus sexual abuse ini terus merebak adalah mudahnya masyarakat
Indonesia mengakses materi pornografi. Sebuah survey menyatakan Indonesia adalah
negara yang mendapatkan peringkat ke-3 terbesar di dunia dalam mengakses materi
pornografi setelah Cina dan Turki.
Sayangnya,
penanganan pemerintah Indonesia untuk meredam
penstimulus kasus kejahatan seksual ini tidak memberikan efek yang signifikan.
Pemblokiran yang mengacu pada UU Pornografi/2008, Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE) Nomor 11/2008, dan UU Telekomunikasi No. 36/1999 ini
hanya mewajibkan pemerintah memblokir situs-situs negatif yang terbukti menganggu keamanan dan
kenyamanan masyarakat. Sistem hukum yang tidak memberikan efek jera juga
semakin memperparah kejahatan seksual ini. UU No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak mengatur bahwa pelaku kekerasan/pelecehan seksual akan
dihukum selama 3-15 tahun penjara. Namun jarang sekali para hakim menjatuhkan
sanksi yang maksimal.
Memberantas kasus pedofilia dan sexual abuse lainnya tidak cukup hanya dengan tindakan kuratif
alias sistem sanksi saja, melainkan secara preventif harus dilakukan. Pertama
adalah meredam budaya permisif yang selama ini dihembuskan oleh Barat dengan
mengubah pola pikir dan anggapan yang menginduk kepada Barat menjadi pemikiran
yang kental dengan norma agama. Yaitu dengan membangun ketakwaan di tengah
masyarakat yang bisa ditempuh melalui pendidikan baik formal maupun non formal.
Kedua meredam segala macam stimulan yang akan membangkitkan syahwat dengan
tidak membiarkan pornografi dan pornoaksi bertebaran di masyarakat.
Ketiga,
memberikan sanksi hukum yang tegas dan mampu memberikan efek jera kepada
pelakunya. Islam sebagai aturan hidup yang sempurna juga memiliki aturan hukum
yang akan diberikan kepada pelaku pelecehan/kekerasan seksual pada anak. Tindakan
kejahatan pemerkosaan yaitu dirajam (dilempari batu) hingga mati, jika
pelakunya sudah menikahdan dijilid (dicambuk) 100 kali dan diekspos selama 1
tahun, jika pelakunya belum menikah. Sedangkan jika pelaku pelecehan/kekerasan
seksual pada anak terkategori liwath
atau sodomi maka hukumannya adalah
dibunuh baik sudah menikah maupun belum menikah. Dalilnya adalah Sunnah dan
Ijma sahabat. Sabda Rasulullah: “Barang
siapa yang kalian dapati sedang melakukan perbuatannya kaum (Nabi) Luth, maka
bunuhlah keduanya”. Sistem hukum seperti ini akan membuat siapa saja mengurungkan
niatnya untuk melakukan pelecehan/kekerasan seksual kepada siapa
saja termasuk pada anak.
Arus
kehidupan permisif dan hedonistik yang terus berkembang membuat siapa saja
bebas melakukan apa saja tanpa memikirkan aturan hukum, norma, dan agama. Tindakan
pelecehan/kekerasan seksual pada anak adalah potret nyata yang terus dipelihara
oleh gaya hidup yang berpijak pada asas kebebasab ini. Tidak ada solusi tuntas yang
mampu diberikan oleh aturan demokrasi untuk menghancurkan gunung es
pelecehan/kekerasan seksual pada anak ini. Bangsa ini butuh sebuah sistem hidup
yang mampu menyelamatkan anak tidak berdosa dari para ‘predator anak’. Sistem
hidup yang akan membebaskan anak dari pelecehan/kekerasan seksual dengan menghukum
pelaku kejahatan seksual dengan berat, menghapus segala macam stimulus yang
membangkitkan syahwat, dan penanaman akidah Islam yang kuat. Hal ini bisa
terwujud melalui penegakkan sistem kehidupan Islam di seluruh aspek kehidupan,
Khilafah Islamiyah. Wallau ’alam bish shawwab.
6.5.2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar