Selasa, 02 Februari 2016

Islam, Selamatkan Indonesia Darurat Pedofilia

Di tengah gegap gempita pesta demokrasi yang penuh liku, fokus perhatian masyarakat Indonesia kini terpecah dengan menyoroti kasus kejahatan seksual yang banyak menimpa anak-anak. Bermula dari kasus kekerasan seksual yang dialami oleh seorang anak di sebuah sekolah swasta internasional kenamaan Jakarta International School, fenomena gunung es pedofilia di Indonesia semakin terkuak. Terbaru, kasus pedofilia yang melibatkan Emon ternyata sudah memakan korban yang sangat banyak. Tercatat, 110 anak di Sukabumi telah menjadi korban kebuasan Emon alias AS.
Pelecehan/kekerasan seksual pada anak memang bukanlah hal yang baru terjadi di negeri ini.  Data yang dilaporkan kepada Komnas Perlindungan Anak cukup mencengangkan, pelecehan/kekerasan seksual pada anak setiap tahunnya terus meningkat. Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Erlinda mengatakan, setiap tahun tren kekerasan seksual terhadap anak-anak mengalami peningkatan hingga 30 persen. KPAI mencatat, jenis kejahatan anak tertinggi sejak tahun 2007 adalah tindak sodomi terhadap anak. Dari 1.992 kasus kejahatan anak yang masuk ke Komnas Anak, sebanyak 1.160 kasus atau 61,8 persen, adalah kasus sodomi anak.
Maraknya kasus pelecehan/kekerasan seksual pada anak tidak bisa hanya ditilik dari satu penyebab tunggal saja, tetapi banyak faktor penyebab yang membuat kasus ini terus menggurita. Salah satu penyebab yang disampaikan Dr. Asrorun Sholeh, Ketua Divisi Sosialisasi KPAI adalah budaya hidup yang serba boleh alias permisif dewasa ini membuat masyarakat tidak tahu lagi rambu-rambu norma dan agama dalam menyalurkan hasrat seksualnya. Penyebab lain yang menjadikan kasus sexual abuse  ini terus merebak adalah mudahnya masyarakat Indonesia mengakses materi pornografi. Sebuah survey menyatakan Indonesia adalah negara yang mendapatkan peringkat ke-3 terbesar di dunia dalam mengakses materi pornografi setelah Cina dan Turki.
Sayangnya, penanganan pemerintah Indonesia untuk meredam penstimulus kasus kejahatan seksual ini tidak memberikan efek yang signifikan. Pemblokiran yang mengacu pada UU Pornografi/2008, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Nomor 11/2008, dan UU Telekomunikasi No. 36/1999 ini hanya mewajibkan pemerintah memblokir situs-situs negatif yang terbukti menganggu keamanan dan kenyamanan masyarakat. Sistem hukum yang tidak memberikan efek jera juga semakin memperparah kejahatan seksual ini. UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengatur bahwa pelaku kekerasan/pelecehan seksual akan dihukum selama 3-15 tahun penjara. Namun jarang sekali para hakim menjatuhkan sanksi yang maksimal.
Memberantas kasus pedofilia dan sexual abuse lainnya tidak cukup hanya dengan tindakan kuratif alias sistem sanksi saja, melainkan secara preventif harus dilakukan. Pertama adalah meredam budaya permisif yang selama ini dihembuskan oleh Barat dengan mengubah pola pikir dan anggapan yang menginduk kepada Barat menjadi pemikiran yang kental dengan norma agama. Yaitu dengan membangun ketakwaan di tengah masyarakat yang bisa ditempuh melalui pendidikan baik formal maupun non formal. Kedua meredam segala macam stimulan yang akan membangkitkan syahwat dengan tidak membiarkan pornografi dan pornoaksi bertebaran di masyarakat.
Ketiga, memberikan sanksi hukum yang tegas dan mampu memberikan efek jera kepada pelakunya. Islam sebagai aturan hidup yang sempurna juga memiliki aturan hukum yang akan diberikan kepada pelaku pelecehan/kekerasan seksual pada anak. Tindakan kejahatan pemerkosaan yaitu dirajam (dilempari batu) hingga mati, jika pelakunya sudah menikahdan dijilid (dicambuk) 100 kali dan diekspos selama 1 tahun, jika pelakunya belum menikah. Sedangkan jika pelaku pelecehan/kekerasan seksual pada anak terkategori liwath atau sodomi maka hukumannya adalah dibunuh baik sudah menikah maupun belum menikah. Dalilnya adalah Sunnah dan Ijma sahabat. Sabda Rasulullah: Barang siapa yang kalian dapati sedang melakukan perbuatannya kaum (Nabi) Luth, maka bunuhlah keduanya. Sistem hukum seperti ini akan membuat siapa saja mengurungkan niatnya untuk melakukan pelecehan/kekerasan seksual kepada siapa saja termasuk pada anak.
Arus kehidupan permisif dan hedonistik yang terus berkembang membuat siapa saja bebas melakukan apa saja tanpa memikirkan aturan hukum, norma, dan agama. Tindakan pelecehan/kekerasan seksual pada anak adalah potret nyata yang terus dipelihara oleh gaya hidup yang berpijak pada asas kebebasab ini. Tidak ada solusi tuntas yang mampu diberikan oleh aturan demokrasi untuk menghancurkan gunung es pelecehan/kekerasan seksual pada anak ini. Bangsa ini butuh sebuah sistem hidup yang mampu menyelamatkan anak tidak berdosa dari para ‘predator anak’. Sistem hidup yang akan membebaskan anak dari pelecehan/kekerasan seksual dengan menghukum pelaku kejahatan seksual dengan berat, menghapus segala macam stimulus yang membangkitkan syahwat, dan penanaman akidah Islam yang kuat. Hal ini bisa terwujud melalui penegakkan sistem kehidupan Islam di seluruh aspek kehidupan, Khilafah Islamiyah. Wallau ’alam bish shawwab.
6.5.2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar