Belum
selesai mengusut tuntas kasus pembunuhan Feby Lorita, pihak Kepolisian Republik
Indonesia kembali harus berhadapan dengan sesosok mayat korban pembunuhan. Kali
ini pihak Kepolisian Palu Barat yang mendapatkan ‘jatah’ untuk mengusut tuntas
kasus pembunuhan yang memakan korban wanita berusia 80 tahun (Hj. Hoja) di Palu, Sulawesi Tengah. Pelakunya yang tidak lain adalah
keponakan dari korban berhasil dibekuk pada Senin (10/2) dini hari. Berdasarkan
pengakuan pelaku (N alias A), dirinya nekat
menganiaya adik ayah kandungnya itu akibat tidak diberikan uang dari warisan
tanah yang dimintainya.
Kasus pembunuhan akhir-akhir ini memang sangat marak
terjadi. Tidak hanya alasan ekonomi, motif lain seperti dendam, kecemburuan
terhadap pasangan juga ikut menambah deretan pemicu tindak pembunuhan. Nyawa
manusia dewasa ini sungguh sangat murah dan bahkan tidak berharga sama sekali. Terbukti
dengan laporan yang
dilansir oleh Polda Metro Jaya yang mencatat setidaknya ada 51.444 kasus kriminal
di Jakarta dan sekitarnya. Kriminalitas pembunuhan terjadi 74 kasus, naik 2 kasus (3%) dari tahun 2012. Itu
artinya terjadi satu pembunuhan setiap lima hari, mengerikan!
Tidak ada asap kalau tidak ada api.
Rasanya pepatah ini layak untuk menggambarkan tindak kriminalitas yang kian menggunung
ini. Tidak mungkin ada pembunuhan tanpa ada penyebabnya, tentu saja! Menanggapi
maraknya kasus pembunuhan ini kriminolog Universitas Asyafi’iyah, Masriadi
Pasaribu, mengatakan banyaknya kasus pembunuhan di ibu kota ditenggarai
oleh tingkat stres yang sangat tinggi sehingga pembunuhan dijadikan cara yang
paling efektif untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.
Tingginya
tingkat stres ini bisa disebabkan oleh berbagai macam hal. Dilihat dari motif yang
banyak melatarbelakangi pembunuhan ini, motif ekonomi sering menjadi salah satu
biang keladinya. Kasus pembunuhan Hj. Hoja oleh keponakannya karena tidak
mendapat harta warisan salah satunya. Kasus lainnya adalah Epi Suhendar yang membunuh anaknya
sendiri diduga karena faktor beban pekerjaan serta himpitan ekonomi. Faktor ketidakharmonisan rumah tangga
juga berperan, seperti kasus pembunuhan Desy Hayatun Nupus yang tengah hamil
terjadi karena diduga pelakunya disulut rasa cemburu. Kondisi ini semakin
diperparah dengan lembeknya penerapan hukum di negeri zamrud khatulistiwa ini
yang tidak pernah bisa memberikan efek jera dan pencegahan.
Andai political wiil dari pemerintah ada, tingginya
kasus pembunuhan dan tindak kriminalitas lainnya sebenarnya bisa diredam. Dimulai
dengan negara membina warga dengan keimanan dan ketakwaan sehingga keimanan dan
ketakwaan itu yang akan mencegah setiap individu untuk tidak melakukan kejahatan.
Asas ketuhanan di negeri ini ternyata hanya sebatas semboyan saja, ketaatan
individu terhadap agamanya justru dihancurkan dengan sekulerisme. Pemerintah
justru memfasilitasi rakyat untuk tidak menyentuh agamanya, mulai dari gaya
hidup hedonis sampai dilebelkan agama sebagai teroris. Mengerikan!
Dalam
perekonomian, pemerintah haruslah menjadi pihak yang memastikan setiap rakyat
terpenuhi kebutuhannya. Artinya negara wajib menjamin lapangan pekerjaan secara
riil, menjadin kebutuhan pokok baik pangan, papan, dan sandang untuk setiap
individu rakyat. Negara juga wajib menjamin pemenuhan kebutuhan pendidikan,
pelayanan kesehatan dan kemanan secara langsung dan bebas biaya. Ini yang akan
membuat rakyat tidak harus khawatir akan kehidupannya. Semua ini bukanlah mimpi
yang sulit dijangkau andai pemerintah tidak menjual kekayaan alam kepada pihak
asing.
Terakhir adalah sistem hukum yang berlaku haruslah
yang dapat memberikan efek jera bagi pelakunya dan mampu mencegah orang lain
untuk melakukan hal yang sama. Misalnya, sistem sanksi dalam Islam menetapkan
bagi mereka yang membunuh dengan disengaja, dihukum qishash (dihukum bunuh) dihadapan khalayak ramai kecuali dimaafkan
oleh ahli waris korban. Selain itu harus membayar diyat 100 ekor onta, 40
diantaranya sedang bunting. Sementara untuk selain pembunuhan disengaja, pelaku
harus membayar diyat 100 ekor onta atau 1.000 dinar atau sekitar Rp 2 miliar (1
dinar= Rp 1.946.883). Dengan sistem sanksi seperti ini, rasanya akan sangat
jarang sekali ada orang yang akan melakukan pembunuhan, terlebih karena
persoalan sepele.
10.2.2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar