Selasa, 02 Februari 2016

Murahnya Nyawa di Negeri Zamrud Khatulistiwa

Belum selesai mengusut tuntas kasus pembunuhan Feby Lorita, pihak Kepolisian Republik Indonesia kembali harus berhadapan dengan sesosok mayat korban pembunuhan. Kali ini pihak Kepolisian Palu Barat yang mendapatkan ‘jatah’ untuk mengusut tuntas kasus pembunuhan yang memakan korban wanita berusia 80 tahun (Hj. Hoja) di Palu, Sulawesi Tengah. Pelakunya yang tidak lain adalah keponakan dari korban berhasil dibekuk pada Senin (10/2) dini hari. Berdasarkan pengakuan pelaku (N alias A), dirinya nekat menganiaya adik ayah kandungnya itu akibat tidak diberikan uang dari warisan tanah yang dimintainya.

Kasus pembunuhan akhir-akhir ini memang sangat marak terjadi. Tidak hanya alasan ekonomi, motif lain seperti dendam, kecemburuan terhadap pasangan juga ikut menambah deretan pemicu tindak pembunuhan. Nyawa manusia dewasa ini sungguh sangat murah dan bahkan tidak berharga sama sekali. Terbukti dengan laporan yang dilansir oleh Polda Metro Jaya yang mencatat setidaknya ada 51.444 kasus kriminal di Jakarta dan sekitarnya. Kriminalitas pembunuhan terjadi  74 kasus, naik 2 kasus (3%) dari tahun 2012. Itu artinya terjadi satu pembunuhan setiap lima hari, mengerikan!

Tidak ada asap kalau tidak ada api. Rasanya pepatah ini layak untuk menggambarkan tindak kriminalitas yang kian menggunung ini. Tidak mungkin ada pembunuhan tanpa ada penyebabnya, tentu saja! Menanggapi maraknya kasus pembunuhan ini kriminolog Universitas Asyafi’iyah, Masriadi Pasaribu, mengatakan banyaknya kasus pembunuhan di ibu kota  ditenggarai oleh tingkat stres yang sangat tinggi sehingga pembunuhan dijadikan cara yang paling efektif untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.

Tingginya tingkat stres ini bisa disebabkan oleh berbagai macam hal. Dilihat dari motif yang banyak melatarbelakangi pembunuhan ini, motif ekonomi sering menjadi salah satu biang keladinya. Kasus pembunuhan Hj. Hoja oleh keponakannya karena tidak mendapat harta warisan salah satunya. Kasus lainnya adalah Epi Suhendar yang membunuh anaknya sendiri diduga karena faktor beban pekerjaan serta himpitan ekonomi. Faktor ketidakharmonisan rumah tangga juga berperan, seperti kasus pembunuhan Desy Hayatun Nupus yang tengah hamil terjadi karena diduga pelakunya disulut rasa cemburu. Kondisi ini semakin diperparah dengan lembeknya penerapan hukum di negeri zamrud khatulistiwa ini yang tidak pernah bisa memberikan efek jera dan pencegahan.

Andai political wiil dari pemerintah ada, tingginya kasus pembunuhan dan tindak kriminalitas lainnya sebenarnya bisa diredam. Dimulai dengan negara membina warga dengan keimanan dan ketakwaan sehingga keimanan dan ketakwaan itu yang akan mencegah setiap individu untuk tidak melakukan kejahatan. Asas ketuhanan di negeri ini ternyata hanya sebatas semboyan saja, ketaatan individu terhadap agamanya justru dihancurkan dengan sekulerisme. Pemerintah justru memfasilitasi rakyat untuk tidak menyentuh agamanya, mulai dari gaya hidup hedonis sampai dilebelkan agama sebagai teroris. Mengerikan!

Dalam perekonomian, pemerintah haruslah menjadi pihak yang memastikan setiap rakyat terpenuhi kebutuhannya. Artinya negara wajib menjamin lapangan pekerjaan secara riil, menjadin kebutuhan pokok baik pangan, papan, dan sandang untuk setiap individu rakyat. Negara juga wajib menjamin pemenuhan kebutuhan pendidikan, pelayanan kesehatan dan kemanan secara langsung dan bebas biaya. Ini yang akan membuat rakyat tidak harus khawatir akan kehidupannya. Semua ini bukanlah mimpi yang sulit dijangkau andai pemerintah tidak menjual kekayaan alam kepada pihak asing.

                Terakhir adalah sistem hukum yang berlaku haruslah yang dapat memberikan efek jera bagi pelakunya dan mampu mencegah orang lain untuk melakukan hal yang sama. Misalnya, sistem sanksi dalam Islam menetapkan bagi mereka yang membunuh dengan disengaja, dihukum qishash (dihukum bunuh) dihadapan khalayak ramai kecuali dimaafkan oleh ahli waris korban. Selain itu harus membayar diyat 100 ekor onta, 40 diantaranya sedang bunting. Sementara untuk selain pembunuhan disengaja, pelaku harus membayar diyat 100 ekor onta atau 1.000 dinar atau sekitar Rp 2 miliar (1 dinar= Rp 1.946.883). Dengan sistem sanksi seperti ini, rasanya akan sangat jarang sekali ada orang yang akan melakukan pembunuhan, terlebih karena persoalan sepele.
               
                Begitulah seharusnya negara memastikan dan menjamin terjaganya rasa aman di kehidupan masyarakat. Nyawa, harta, dan kehormatan masyarakat benar-benar akan terlindungi. Semua ini akan dapat kita rasakan ketika kita menggambil aturan hidup yang membuat setiap manusia bertakwa, memastikan setiap warga terpenuhi kebutuhannya, dan sistem sanksi yang memberikan efek jera, Islam.

10.2.2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar