Setelah heboh
dengan isu Gafatar, masyarakat Indonesia kembali dibuat resah dengan peristiwa
ledakan bom dan baku tembak yang terjadi
di sekitaran Jalan MH Thamrin Jakarta,
14 Januari 2016 lalu. ‘Kado tahun baru’ yang sudah diendus oleh BIN akan
terjadi pada 10/1 itu menewaskan 8 orang yang terdiri dari pelaku, WNA, warga
sipil dan sebanyak 20 orang lainnya mengalami luka.
Sekitar empat
jam setelah kejadian tersebut, pihak kepolisian Indonesia yang diwakili oleh
Komjen Budi Gunawan menyatakan bahwa aksi teror tersebut dilakukan oleh jaringan ISIS. Ledakan yang
terjadi di area Menara Cakrawala tersebut mirip dengan aksi teror yang terjadi
di Paris beberapa waktu lalu. ISIS kembali dinilai sebagai otak peristiwa pengeboman
Jakarta. Hal ini semakin diperkuat setelah pelaku pengeboman teridentifikasi,
yaitu Bahrun Naim yang dinyatakan sebagai pimpinan ISIS untuk wilayah Asia
Tenggara.
Dimulai dengan
kasus WTC 9/11 , ada sebuah pola yang cukup menarik untuk
menentukan aksi pengeboman yang kerap terjadi itu apakah tindakan terorisme
atau bukan. Secara kasat mata, setiap terjadi kasus ledakan bom jika pelakunya
adalah seorang yang beragama Islam maka dapat dengan cepat disimpulkan tindakan
tersebut adalah terorisme. Maka, tidak heran ketika setiap kali ada aksi
pengeboman Islam dan umat Islam selalu dirugikan karena akan selalu bisa
dipastikan menjadi pihak tertuduh sebagai pelaku teror.
.Kondisi seperti ini bukan hanya satu atau dua kali
terjadi. Dari berbagai kasus terorisme yang di blowup media, masyarakat seolah digiring untuk membuat kesimpulan
bahwa kejadian tersebut identik dengan Islam. Begitupun berbagai aksi
penangkapan yang dilakukan oleh Densus 88 -yang kadang melakukan salah tangkap-
tak jarang buku-buku keislaman dan Al Quran dijadikan barang bukti yang
dimiliki pelaku teror.
Padahal,
tindakan terorisme dan membunuhan tanpa haq
sama sekali tidak pernah dibenarkan dalam Islam dan dinilai sebagai tindakan
tercela yang menyalahi Islam. Islam menegaskan bahwa merusak fasilitas umum dan
meresahkan masyarakat dengan teror adalah tindakan yang salah. Apalagi sampai
membunuh orang yang tidak bersalah maka pelakunya jelas dinilai sebagai orang
yang keji terlepas apapun motif yang melatarbelakanginya untuk melakukan hal
tersebut.
Imbas yang
terjadi dari identiknya islam dan terorisme adalah Islamophobia. Masyarakat
menjadi takut dan bahkan antipati terhadap segala sesuatu yang berhubungan
dengan Islam dan syariahnya terlebih dengan Khilafah. Islam dan Khilafah kini
sudah menjadi monster yang menakutkan bagi masyarakat dunia. Kini masyarakat
selalu was-was dan mewaspadai identitas-identitas Islam, menaruh
kecurigaan-kecurigaan terhadap segala sesuatu yang berbau Islam. Islam kembali
menjadi korban.
Selain aksi
terorisme yang selalu diidentikkan dengan Islam, ada respon lain yang muncul terhadap kejadian
Bom Thamrin ini. Banyak masyarakat saat ini yang membaca bahwa ada kejadian
lain yang ditutupi dengan adanya aksi teror ini. Tidak salah jika ada yang
mengatakan bahwa Bom Thamrin adalah pengalihan isu agar fokus perhatian
masyarakat beralih ke kasus teror ini. Sebagaimana kita ketahui, sebelum
terjadi teror di Thamrin negeri ini sedang disuguhkan drama ‘pertarungan
antargeng’ untuk mendapatkan saham gunung emas di Papua yang sedang dikuasai
raksasa Freeport yang akan habis masa kontraknya.
Ini mungkin
hanyalah kebetulan yang tidak disengaja. Kasus hukum ‘papa minta saham’ yang melibatkan
beberapa ‘manusia kerah putih’ dalam proses negosiasi perpanjangan kontrak
Freeport yang akan habis pada 2021 sekaligus lenyap dari mata publik bersamaan
dengan masifnya blowup media terhadap
isu terorisme Thamrin.
Rasanya tidak
mengherankan jika hari ini banyak pertnyaan-pertanyaan yang publik ungkapkan
dalam menanggapi teror Thamrin. Apa yang sebenarnya terjadi dibalik adanya ledakan
di Thamrin? Kemana sebenarnya arah aksi terorisme di Jakarta kali ini? Siapa
yang target yang sedang dibidik dari peristiwa ini? Rekayasakah semua ini?
Peristiwa
Thamrin kali ini, tentu tidak boleh dilahap begitu saja oleh masyarakat. Sudah masyarakat
harus semakin cerdas dalam menanggapi peristiwa-peristiwa politik yang terjadi
di negeri ini. Tidak cepat mengambil kesimpulan dangkal yang diaruskan oleh
berbagai pihak, terlebih sampai termakan dengan isu-isu lama yang memojokkan
Islam.
2.2.2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar